Hari esok kita dilupakan. Segala sesuatu akan berakhir dan sia-sia. Dalam tangan siapa hidupmu itulah yang menentukan sebuah harapan
Arsip Blog
- Juli (1)
- April (4)
- Januari (1)
- April (1)
- Juli (1)
- Maret (47)
- April (7)
- Maret (1)
- Februari (1)
- Desember (1)
- Agustus (1)
- Juli (1)
- Januari (1)
- Juni (1)
- April (1)
- Desember (3)
- November (1)
- Oktober (1)
- September (2)
- Agustus (1)
- Juni (2)
- Maret (1)
- Januari (3)
- Desember (1)
- November (1)
- Oktober (2)
- Agustus (1)
- Juni (1)
- April (1)
- Januari (1)
- Desember (2)
- Oktober (3)
- September (1)
- Agustus (1)
- Juli (1)
- Juni (5)
- Mei (2)
- April (1)
- Maret (2)
- Februari (1)
- Januari (3)
- November (4)
- Oktober (1)
- Juli (2)
- Mei (1)
- April (3)
- Februari (1)
- Juli (4)
- Maret (3)
- Februari (2)
- Januari (2)
- November (1)
- September (3)
- Agustus (2)
- Maret (1)
- November (1)
- Juli (1)
- Juni (1)
- Mei (3)
- April (3)
- Maret (2)
- Oktober (2)
- Juni (1)
- April (2)
Kamis, 26 Januari 2012
Agama atau Atheis
Tidak pandang dari agama apa tetapi tiba-tiba gerakan atheis semakin populer. Perdana menteri, bintang tenar, Orang terkaya, ilmuwan bahkan tokoh agama justru beralih menjadi Atheis. Menurut mereka, agama selama ini justru menjadi pemicu kebencian, pembunuhan, dan deretan kekacauan perang lainnya. Dengan menjadi Atheis maka terhindar dari kebencian, lebih menghargai sesama dan tentu kedamaian.
Kita tidak akan membahas atheis itu benar atau tidak. Tapi dari bangunan pemikiran bahwa agama adalah sumber kekacauan maka historikalnya menjadi dinding dari bangunan tersebut.
Kejahatan menjadi kebenaran, pembunuhan menjadi ibadah, intimidasi penghinaan dan pelecehan menjadi liturgi pemujaan. Itulah yang terjadi pada fanatisme agama dengan pola pikir sedang membela Allahnya. Perbedaan menjadi dasar untuk berperang sementara dari atas mimbar berbicara tentang Allah yang rahimi rahmani. Allah yang adalah kasih. Sungguh logika amburadul. Kata dan perbuatan seperti ekor dan kepala berbeda letak, bentuk dan visualnya.
Bagaimana mempraktekkan kasih, jika itu adalah ‘bagian’ dari kita? Kasih itu akan nyata jika objek yang hendak dikasihi tidak ‘sepadan’ dengan kita. Pembunuhpun akan mengasihi istri dan keluarganya. Kasih yang sejati adalah kasih yang keluar dari kepentingan diri sehingga musuhpun berhak memperolehnya.
Ketika kaum ulama yang mengaku berahlak, setia melakukan syariat agama ditanya, siapa yang hendak dibebaskan Barabas si penjahat besar atau Yesus yang tidak melakukan kejahatan? Sontak mereka memilih Barabas.
Kenapa penjahat yang dipilih?
Karena Yesus ini mengajarkan ajaran berbeda dengan pemahaman para pengaku agamawan setia ini.
Berbeda dengan ‘kita’, ternyata lebih berbahaya, lebih mengancam daripada yang berlaku jahat. Saya juga kelimpungan menjelaskan pada anak sendiri kenapa ada anak tetangga yang memaki dan membenci dia karena berbeda agamanya. Bayangkan kebencian itu kadang dipupuk dari kecil hanya karena berbeda. Tidak sama. Tidak heran kehidupan sosial penuh kecurigaan satu dengan yang lain. Sementara harmonisasi itu terbentuk oleh nuansa perbedaan didalamnya. Kadang sulit juga dimengerti, mendirikan bangunan hiburan lebih mudah dibanding pendirian bangunan ibadah. Dimana-mana ini menjadi persoalan sensitif antara mayoritas dan minoritas. Perbedaan ajaran satu dengan ajaran yang lain menjadi lebih tinggi oktannya dibanding bahan bakar apapun sehingga dalam sekejap menghanguskan tatanan.
Jika sempat, baca juga artikel ini:
"Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama," tulis Sam Harris, yang bersama Daniel Dennett dan Richard Dawkins dikenal sebagai the Unholy Trinity of Atheism. (http://www.detiknews.com/read/2012/01/04/083526/1806073/103/agama-dan-kekerasan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar