Arsip Blog

Minggu, 14 Desember 2014

Indonesiaku

Kalau tidak mau ucapkan selamat, ya tidak usah. Janganlah 'mempolitisi' agama. Bagaimanapun juga negara ini terjadi karena kemauan semua pihak dari berbagai pulau terkait untuk mengikatkan diri jadi proklamirkan satu negara kesatuan. Namanya saja kesatuan yang artinya memang di dalamnya terdiri dari berbagai keanekaragaman. Budaya, tingkah laku, pola hidup, keyakinan, warna kulit, bahasa dan sebagainya. Keragaman ini bukan tidak disadari sejak awal oleh sebab itu kongres dan berbagai ikrar telah mendahului semunya sebelum Indonesia ini mengikrarkan diri dengan dasar negara Pancasila. Keragaman menjadi kekayaan dan keunikan Indonesia itu sendiri. Indonesia menaungi berbagai agama bukan satu agama yang menaungi Indonesia. Jangan terbalik sehingga cara pikir tidak sesat. Jika Indonesia menaungi berbagai agama, maka semua pemeluk agama wajib menghormati agama lain. Menghormati tidak harus mengucapkan selamat hari raya (kalau memang ada larangan agama). Tapi bukan berarti harus memutus tali silahturahmi atau menciptakan permusuhan.
Sebagai penganut Kristen, maka hari raya Natal tidak usah saudara-saudara lainnya sampaikan salam atau selamat hari Natal. JIka hal tersebut dilarang, jangan dilakukan. Tapi jangan kemudian 'mempolitisasi' sehingga justru terkesan, bahwa kita seharusnya bermusuhan. 
Kalau yakin dengan kebenaran keyakinan kita, maka tidak perlu takut dengan keyakinan orang lain. Itu intinya.
Hidup di dunia ini hanya sementara, bahkan oleh sebagian orang tidak memiliki agama adalah kebanggaan. Kenapa? Karena mereka melihat, kekacauan, pembunuhan dan kebencian di dunia ini sebagian besar dipicu oleh fanatisme agama. Oleh orang yang mengaku beragama. Jangan semakin memperbesar alasan dan jumlah orang-orang tersebut dengan perbuatan kita selaku umat yang mengaku beragama tapi tidak dapat mengasihi orang yang berbeda keyakinan dengan kita.
Ada keluarga Islam yang taat di Utan Kayu bertetangga dengan keluarga Kristen. Saat mereka mau naik haji, salah satu kelompok pengantar adalah Guru Sekolah Minggu (pengajar anak-anak Kristen). Saya heran, kok bisa.
Ternyata persahabatan kedua keluarga ini tidak dibatasi dinding rumah dan indentitas agama. Mereka layaknya saudara sehingga acara di masing-masing rumah mereka melibatkan komunitas masing-masing. Menyatu dan saling menghargai. Berbeda iya, tapi tidak menjadikan perbedaan itu sebagai masalah. Tidak heran kegiatan Keluarga Islam ini suka dihadiri teman-teman Guru Sekolah Minggu tetangganya demikian pula sebaliknya. Lebih 'ekstrim' lagi Bapak dan Ibu tetangga Islam ini pernah hadiri acara gereja untuk menjadi saksi seorang anak sahabat mereka dibaptis (kalau di Islam sunatan).
Saya kenal keluarga ini saat menemani Istri (mantan guru sekolah minggu) yang diundang hadir di kediaman keluarga muslim ini di Nagrek Jawa Barat. Tempat keluarga muslim tapi mengijinkan kelompok sekolah minggu lakukan ibadah rekreasi di halaman rumah mereka yang kebetulan juga dipakai sebagai saung restaurant usaha keluarga mereka. Terus terang keluarga ini (Om Kun), tidak akan saya lupa. 
Ini hanyalah salah satu contoh kebersamaan yang saya alami dengan sahabat-sahabat muslim. Itu sebabnya, bukan berlebihan jika saya katakan harus terkejut jika kemudian ada tokoh agama yang melarang ucapkan selamat. 

Tidak ada komentar: