Penulis PAUL HIDAYAT (PPA)
Iman sentral dan vital adanya. Sedikit pengetahuan isi Alkitab cukup membuat kita menyimpulkan itu. Mazmur 37:3-5 mengajarkan bahwa percaya kepada Tuhan adalah dasar yang memungkinkan orang untuk setia dalam Tuhan, berlaku baik, memiliki kehidupan yang bergembira, dan membuatnya mengalami campur tangan Tuhan di tengah tekanan kondisi zaman yang tidak benar. Habakuk 2:4b yang lahir dalam kegoncangan moral-spiritual Habakuk, dengan indah menegaskan pengakuan iman adalah penyebab seseorang hidup benar. Paulus dalam Rm 1:17 tidak saja mengulang kembali pengakuan Habakuk, tetapi menjelaskan lebih terang bahwa seluruh perjalanan hidup orang benar adalah proses hidup beriman. Pengajaran penting ini kemudian ditemukan kebenarannya oleh Martin Luther dalam kegelisahan rohaninya bahwa iman, bukan kondisi moral-spiritualnya, yang membuat ia dan semua orang beriman dibenarkan oleh Allah di dalam hidup dan karya Yesus Kristus. Penulis Ibrani bahkan mengabdikan seluruh pasal 11 untuk menguraikan penting dan vitalnya iman disertai banyak contoh para tokoh iman Perjanjian Lama
Dalam
perspektif Petrus, iman mendapatkan kedudukan fondasional (2 Pet 1:5-10). Iman
adalah dasar atau awal dari seluruh pertumbuhan keikutsertaan orang terhadap
Yesus Kristus yang meliputi pembaruan segenap aspek hidup manusia sampai pada puncaknya dalam kasih ia semakin
mengenal Yesus Kristus, dan dengan penuh hasrat melayani Dia saja. Sedangkan
dalam pemahaman Paulus, iman menjadi salah satu dari essensi kekristenan yang
bersama pengharapan dan kasih sering juga disebut sebagai kebajikan-kebajikan
teologis (1 Kor 13:13)
Sampai
di sini saya yakin bahwa Anda tahu dan setuju tentang sentralitas dan vitalitas
iman bagi kehidupan dan pelayanan kita. Mengapa kini kita perlu membahasnya
ulang? Meski sentral dan vital, ternyata pemahaman Gereja tentang iman tidak
selalu setia, benar, tepat dan lengkap seperti yang Alkitab bukakan. Lagi pula
sejarah Gereja menyaksikan bahwa berabad-abad sesudah iman Kristen beroleh
pengakuan sebagai agama resmi Roma, pemahaman dan penghayatan tentang iman
tidak saja merosot, tetapi juga menyimpang bahkan sampai sesat. Dalam sepanjang
sejarah Gereja bahaya kesesatan iman itu terjadi berulang kali dan perlu
tindakkan pelurusan oleh Allah sendiri, dengan membangkitkan para hamba-Nya
yang setia agar Gereja tetap terpelihara dalam kebenaran. Salah satu peristiwa
intervensi Allah dalam sejarah Gereja itu adalah reformasi. Melalui pergumulan
para tokoh reformasi, sentralitas dan vitalitas iman bagi keselamatan diakui
kembali. Salah satu pengenalan terjenih tentang iman-definisi, elemen-elemen
esensial yang membentuk iman menjadi benar dalam kaitan dengan Yesus Kristus,
Roh Kudus, Alkitab dan berbagai aspek kemanusiaan kita dalam iman-dipaparkan
dengan teliti terutama oleh Calvin dan para sahabatnya
Alasan
lain mengapa kita sekarang sangat perlu menghayati iman dengan jelas dan benar
adalah adanya pergumulan zaman yang berbeda dari zaman kini. Dalam era modern,
beriman identik dengan bodoh, lemah, tidak rasional, kurang intelek. Dalam era
kita kini, era pascamodern, beriman secara khas, jelas dan terfokus bisa jadi
akan dilabelkan sebagai ekstremis, fundamentalis, bahkan teroris.
Pascamodernisme sedemikian menggandrungi segala macam pengalaman iman, kecuali
iman yang berpaut setia kepada Yesus Kristus dan pernyataan Allah dalam
Alkitab. Orang Kristen yang berpaut teguh pada firman hidup dan firman tertulis
perlu bersiap-siap untuk dianggap membahayakan kerukunan masyarakat yang nyata-nyata
majemuk adanya, dan karenanya dianggap ‘teroris’. Era ini hanya bisa
menoleransi iman yang bersedia menjadi pluraris. Selain itu, kini orang
menerima iman bukan lagi atas dasar bukti-bukti sains, tetapi atas dasar bukti
pengalaman dan manfaat nyata. Iman menjadi hal popular, namun dalam
kecenderungan terbuka pada iman bersuasana pasar malam. Kita perlu pemahaman
dan penghayatan iman yang mampu berbicara secara bermakna terhadap konteks
zaman kita kini pascamodern.
Hal-hal
yang sangat vital dan esensial tidak boleh kita andaikan seolah pasti kita
sudah mengetahuinya dan menghayatinya dengan benar. Alkitab penuh dengan contoh
dan peringatan bahwa kerap kali umat Tuhan kedapatan dalam posisi tidak beriman
atau dalam kondisi beriman lemah. Entah kita pemimpin, aktivis atau jemaat,
kita wajib memastikan bahwa kita tidak tergolong para nabi palsu yang
memberikan janji-janji bohong kepada
orang banyak (Yer 23:16-17) atau tergolong para pengajar palsu yang hanya ingin
memuaskan hasrat menyimpang kebanyakan orang (2Tim 3:7)
Tantangan-tantangan
apa saja yang kini sedang kita hadapi? Saya akan mengajukan beberapa hal
berikut ini untuk Anda pikirkan secara mendalam. Kita seringkali mendengar
ungkapan “menurut iman kita masing-masing”. Hal itu diucapkan terutama dalam
kesempatan para penganut berbagai agama berbeda bejumpa entah untuk kegiatan
social atau kegiatan berdoa bersama. Dengan ungkapan demikian bukankah terbuka
kemungkinan kita berangsur-angsur berpikir seperti ini:1 Rupanya ada banyak
kebenaran dan pengalaman iman dalam dunia ini. 2) Jangan-jangan bukan saja iman
Kristen/iman dalam Kristus yang menyelamatkan. 3) Jika ada begitu banyak
pemahaman dan penghayatan, tidaklah terbuka kemungkinan kita saling belajar
untuk memperkaya iman kita? 4) Bila ada banyak tradisi dan kebiasaan religiuts
yang didalamnya latihan keimanan dapat dikembangkan, tidakkah orang Kristen
bisa juga belajar latihan-latihan tersebut untuk memperkaya spiritualitasnya?
Barangkali
kita berpikir bahwa kita tidak akan terjebak kedalam sikap relative atau
kompromistik atau sinkretis. Akan tetapi, coba anda pertimbangkan lebih jauh
lagi. Bagaimana bila orang Kristen mempraktekkan yoga, belajar reiki, latihan
prana, dlsb? Di salah-satu gereja yang mengundang saya untuk membawakan soal spiritualitas
vs spiritisme, doa penutupnya yang kemungkinan dipimpin oleh rohaniawan
setempat mengatakan agar semua yang hadir waktu itu tidak legalistic. Dengan
kata lain, ia menolak kritik-kritik tajam saya tentang spiritualitas tipuan
spiritisme itu. Bagaimana pendapat Anda tentang ungkapan-ungkapan seperti yang
dipakai oleh Stephen Covey dalam the 8Th habit? Bagaimana komentar
Anda tentang pergeseran tekanan dari IQ (Intelligent Quotient, yaitu kecerdasan
intelektual) ke EQ (Emotional Quotient, yaitu kecerdasan rohani)? Saya melihat bahaya masuknya
mistisisme naturalis dan mitisisme okultis ke kalangan Kristen yang berspirit
keterbukaan. Mungkin ini karena ketidaktahuan atau memang sinkretis. Mistisisme
seperti yang dianjurkan dalam berbagai pelatihan pengembangan diri menggunakan
bahasa-bahasa kemanusiaan universal seolah hanya mengacu kepada potensi-potensi
natural di dalam manusia pada umumnya. Akan tetapi, tanpa disadari
latihan-latihan tersebut sesungguhnya sudah menggunakan acuan-acuan mistisisme
Timur yang menjerumuskan orang kepada okultisme
Bahaya
salah pemahaman dan penghayatan tentang iman justru lebih hebat lagi terjadi di
kalangan yang paling sering menggembar-gemborkan iman. Berbagai kesaksian,
bahasan tentang kehidupan dan metode doa, prinsip-prinsip iman seperti yang
meluas diajarkan di banyak aliran ekstrim sempalan tidak terkecuali meluap
masuk ke aliran Gereja arus utama. Belum lama ini saya membahas topik tentang
hubungan doa dan kebiasaan merenungkan
firman di sebuah gereja arus utama. Lalu ada seorang bertanya/berkomentar
begini:”Pak, kalau tiap kali kita menaikkan permohonan doa kita mengucap,
‘jangan kehendakku yang jadi, kehendak-Mulah yang jadi;sampai kapanpun kita
tidak akan mendapat apa-apa.” Nada yang sama adalah komentar dari seorang
pendengar siaran radio secara interaktif
yang kami lakukan, yang kebetulan waktu itu juga membahas soal iman dan doa.
Komentar perempuan pendengar waktu itu, yang saya duga adalah seorang hamba
Tuhan:”Kita harus yakin bahwa Tuhan kita tidak menginginkan kita hidup dalam
keraguan dan sebagai Bapa yang baik Ia ingin memberikan yang terbaik bagi tiap
anak-Nya. Jadi kita harus berdoa dengan yakin seolah apa yang kita minta sudah
terjadi sebab Allah pasti akan melakukan seperti apa yang kita imani.” Kedua
contoh itu menunjukkan betapa ajaran-ajaran firman tentang iman dalam Mat
7:7-11; Mat 17:20, Mat. 21:21-22, Yoh 15:7 telah dipelintir sedemikian rupa,
sehingga bukan saja telah menyalahartikan apa yang sesungguhnya Tuhan ajarkan,
bahkan juga telah menempatkan Tuhan sebagai budak “orang beriman”. Masuklah
pemahaman egoisme ke dalam penghayatan iman demikian dan terjadilah kerancuan
antara iman yang benar dengan pemompaan kapasitas dan hasrat diri sendiri
(emosi, ambisi, sugesti diri)
Dalam
tulisan ini, saya ingin mengajak anda mendalami apa sebenarnya iman menurut
ajaran Alkitab dan butir-butir kebanaran apa saja yang harus kita perlihara
secara sungguh-sungguh. Saya juga ingin menolak berbagai penghayatan yang
keliru tentang iman yang harus diperlakukan sebagai iman palsu, yang
sesungguhnya adalah racun mematikan. Kemudian kita akan menyelami salah satu
perikop penting tentang iman untuk mengambil kebenaran iman dari dalamnya
Iman Sejati
- Yang
mengimani dan yang diimani
Alkitab lebih banyak
menggunakan kata kerja beriman, percaya, memercayakan diri-baik dalam
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru-daripada kata benda “iman”. Ini
menunjukkan bahwa perhatian Alkitab bukan sekedar ditujukan untuk membuat orang
tahu apa iman sesungguhnya, tetapi untuk mendorong orang agar sungguh memiliki
iman yang hidup kepada objek iman yang benar.
Dalam Alkitab, ada
hubungan erat antara iman, aman, amin. Memang ketiga kata tersebut berasal dari
akar kata yang semua dalam bahasa Ibrani sehingga ada keterkaitan pengertian
antara ketiganya. Iman adalah keadaan aman orang yang memercayai Allah dalam
keseluruhan sifat-sifat dan janji-janji-Nya akibat orang tersebut mengamini
Allah dan kehendak-Nya ke dalam kehidupannya. Iman adalah keteguhan,
kestabilan, kemantapan, baik di dalam sikap orang yang memercayakan diri kepada
Allah maupun dalam dalam kekokohan kesetiaan Allah dan kebenaran janji serta
sifat-sifat Allah yang menjadi objek iman. Iman sejati selalu ditujukan kepada
kepastian, kekokohan sifat setia dan benar Allah, serta keteguhan janji-janji
Allah. Iman sendiri bukan pencipta rasa aman atau keselamatan atau pengalaman
lain yang Tuhan karuniakan. Iman hanyalah alat yang menghubungkan penerima
dengan sumber keselamatan, pengudusan, dan pemeliharaan Allah. Iman dalam
Alkitab ditumpukan pada kenyataan bahwa Allah adalah pencipta, pemelihara, dan
penyelamat terpercaya.
Jadi,
dalam keadaan percaya atau beriman selalu tercakup sisi yang mengimani dan sisi
yang diimani. Berbeda dari yang wajarnya kita simpulkan, yang terlebih dulu harus
kita kenali adalah aspek objektif dari iman itu, yaitu diimani, baru menyusul
aspek subjecktif dari iman, yaitu yang mengimani. Meski posisinya demikian,
keduanya harus ada bersama baru dapat kita katakana bahwa ada iman sejati pada
seseorang.
Aspek
objektif iman adalah dasar dari iman sejati. Iman sejati tidak bertumpu atau
berpusat ada adanya kemauan kuat, dorongan perasaan, kesungguhan diri
seseorang, tetapi tertuju dan bertumpu pada kesetiaan Allah (Faithfulness),
kebenaran janji-janji Allah, dan kebenaran Allah seperti yang Ia ungkapkan
dalam firman-Nya. Bagaimanapun kuat, sungguh, mantap iman kita namun apabila
ditujukan bukan kepada tumpuan iman yang benar, tidak akan terjadi tarian hidup
iman. Yang terjadi hanyalah hentakan-hentakan pemaksaan kehendak, emosi,
insting religius semata yang terbelit oleh kesendirian dan kebingungan. Entah
sekecil, selemah apapun iman kita, tapi jika ditujukan kepada Allah, dan
kebenaran firman-Nya, maka akan terjadi langkah-langkah tarian hidup iman yang
makin hari makin indah dan mesra bersama Allah. Ia yang memanggil, menyatakan
diri dan kehendak-Nya, tindakan pemeliharaan dan penyelamatan Allah kepada
perjanjian-Nya; semua ini adalah dasar objektif iman. Allah sendirilah-diri,
sifat, janji-Nya – yang menjadi tumpuan sepanjang pertumbuhan dan perjalanan
iman kita
Apa
yang kita percayai tidak boleh kita sepelekan sebab akan menentukan sikap dan
kelakukan kita bahkan lebih jauh lagi pada karakter kita. Apa yang kita
percayai sebenarnya menyangkut dengan siapa kita berjalan dan sedang menuju
kemana kita. Karena itu tumpuan objektif iman ini selalu berhubungan dengan
pengetahuan tentang Allah, sifat dan kehendak-Nya seperti yang Ia nyatakan
dalam Alkitab dan yang oleh tradisi historis kekristenan disimpulkan dalam berbagai
doktrin. Jadi, iman sejati adalah pemautan seluruh segi hidup seseorang kepada
yang benar-benar patut untuk diimani, yaitu Allah seperti yang dapat kita
ketahui sifat, janji, kehendak dan rencana-Nya dalam Alkitab dan yang kemudian
diwujudkannyatakan dalam Yesus Kristus
Aspek
subjektif iman akan kita bahas dalam uraian tentang unsur-unsur iman . Yang
perlu kita sadari bahwa dalam-dalam adalah kita hanya bisa beriman karena ada
dasar-dasar objektif yang membuat iman dapat bertumpu. Juga perlu kita sadari
bahwa aspek-aspek objektif dan subjektif dalam pembicaraan bisa kita bedakan,
tetapi dalam kenyataan pertumbuhan beriman kita seluruhnya, kedua unsur itu
tidak terpisahkan. Unsur-unsur objektif seperti kehendak, kesetiaan Allah,
Injil penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, dan pemeliharaan-Nya, dapat
menjadi kebenaran objektif karena Roh Kudus menerangkan dan menyakinkan
kebenaran hal-hal tersebut dalam diri kita (subjektif). Tumpuan objektif iman
Kristen bukan ide-ide yang mati tetapi Allah yang hidup dan berkarya dalam
Putra-Nya Yesus Kristus yang mengundang dan memimpin kita menari iman dalam
pimpinan-Nya. Iman sejati selalu ditujukan kepada Allah dan bukan kedalam
kapasitas dan potensi diri sendiri. Kekeliruan dalam isi, arah dan sikap iman
dapat membuat entah iman itu karam, bercacat, atau malah sama sekali palsu
adanya.
- Lahir
dan tumbuhnya iman
Dalam pengertian iman
dan percaya adalah hubungan nyata seseorang dengan Allah, maka iman diawali
bukan dari diri orang itu, tetapi dari karya penyelamatan Allah dalam diri
orang tersebut. Memang dari perpektif pengalaman yang kita sadari, bertobat dan
percaya mendahului pengalaman aspek-aspek keselamatan. Akan tetapi dari
perspektif bahwa dosa membuat manusia mati dan tidak cukup kekuatan kemauan
untuk merespons Allah, maka iman dimulai dari prakarsa-Nya. Dalam teologi
reformasi paling tidak ada dua tindakan Allah dalam lingkup waktu kita, yang
membuat kita mampu merespons Dia dengan iman, yaitu panggilan berdampak dan
kelahiran baru.
Mengikuti tradisi Calvinisme,
Harun Hadiwijono menegaskan bahwa harus datang prakarsa dari Allah sendiri agar
orang bisa masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus. Prakarsa itu adalah
panggilan yang tidak hanya menawarkan, tetapi juga menarik orang agar pindah
dari gelap masuk ke dalam terang Kerajaan Anak-Nya (Kol 1:13). Dari manusia
sendiri, tidak ada daya yang bisa membuatnya menyambut panggilan itu. Iman
bukan ungkapan dari kodrat manusia sebab kodrat itu sudah rusak, cemar, dan
lumpuh oleh dosa. Iman adalah hasil dari karya Allah lainnya, yang bersamaan
dengan panggilan itu datang kepada orang untuk membuka hatinya atau
menghidupkan dia dari keadaan mati rohani. Karya ilahi itu adalah kelahiran
kembali. Kelahiran kembali adalah pembaruan dari atas, yaitu dari Roh Kudus
supaya orang mampu menyambut panggilan Injil. Pandangan ini adalah kosekuensi
dari menerima dua kebenaran Alkitab. Pertama, bahwa Allah jauh melampaui
manusia maka Ia hanya dapat diketahui dan dikenal sejauh Ia bersedia menyatakan
diri-Nya kepada kita dan memimpin kita kepada-Nya. Kedua, bahwa manusia telah
jatuh ke dalam dosa sehingga seluruh potensi dan kapasitas kemanusiaan-Nya yang
memang sudah terbatas itu malah menjadi cemar dan condong ke arah menjauhi
Allah. Maka pemberitaan Injil: perintah agar orang beriman dan bertobat, serta
janji bahwa di dalam Kristus orang beroleh hidup kekal, tidak boleh dikurangi,
dimodifikasi dengan alasan apapun. Sebab, di dalam pewartaan dan perintah
tersebutlah datangnya karya panggilan Allah yang berdampak itu terjadi dan karya
pembaharuan Roh Kudus beroperasi. Tanpa itu, hanya iman palsu dan keselamatan
semu belaka.
Baru sesudah prakarsa dan karya
Allah ini kita alami, kita mampu beriman dan mengalami buah dari janji-janji
iman yaitu; pembenaran, pertobatan, pengampunan, pengangkatan anak-anak Allah,
pengudusan, dan kelak pemuliaan (Roma 8:30). Jadi, maksud para teolog yang
menekankan vitalnya peran panggilan dan pembaharuan oleh Roh Kudus bukan untuk
menggantikan tanggung jawab manusia untuk beriman. Iman tetap merupakan sikap,
keputusan, tindakan manusia yang menjadi tanggung jawab masing-masing orang
yang mendengarkan panggilan Injil untuk berespon demikian. Namun, untuk bisa
bangkit beriman seperti itu diperlukan anugerah Allah yang memungkinkan kita
menyambut karya dan kebenaran objektif dari Allah. Subjek yang beriman dibantu
oleh Ia yang diimani melalui karya pembaruan-Nya agar mampu beriman kepada
objek iman itu dengan benar. Objek iman itu tidak mati, tetapi adalah subjek
yang hidup yang mampu menerobos ke dalam kebekuan diri seseorang, membangkitkan
pemahaman, kesadaran dan desakan untuk merespons iman kepada-Nya. Mengapa para
teolog seolah terkesan tidak konsisten atau tidak senada, di satu pihak seolah
menempatkan iman mendahului regenerasi, di lain pihak seolah menempatkan
regenerasi mendahului iman, merupakan pertanyaan disekitar ordo salutis (urutan
aspek-aspek keselamatan). Menurut hemat saya, ordo salutis sebaiknya tidak
dilihat sebagai garis lurur logis, tetapi sebagai berbagai aspek yang teralami
bisa serempak bisa berbeda impresi waktunya, namun semua adalah akitab dari
porosnya, yaitu karya Roh Kudus mengaplikasikan karya penebusan Kristus ke
dalam hidup seseorang
- Unsur-unsur
dalam iman sejati
Apabila kita menyimak
beberapa pertanyaan berikut tentang apa iman menurut para tokoh gereja, kita
menyaksikan ada perkembangan dalam pemahaman tentang iman itu dalam interaksi
dengan pergumulan zaman yang berbeda-beda.
-
Clement
dari
-
Cyril
dari Yerusalem:”Iman adalah penglihatan yang menerangi setiap sanubari dan
menerbitkan pengertian.”
-
Agustinus
dari Hippo:” Kita percaya agar kita mengetahui.”
-
John
Calvin: “Iman adalah suatu pengetahuan yang teguh dan pasti tentang kebaikan
Allah terhadap kita, yang didasari atas kebenaran janji anugerah bebas Allah
dalam Kristus, yang keduanya dinyatakan ke budi kita dan dimateraikan ke hati
kita oleh Roh Kudus (Ins.3.2.7)
Dari perbandingan di
atas terlihat jelas bahwa pemahaman terkaya ada dalam difinisi Calvin tentang iman. Memang memahami pergumulan para
reformator tentang iman sangat bermanfaat bagi pemahaman kita kini. Seperti
halnya ungkapan-ungkapan penting Alkitab yang dikutip di awal tulisan ini lahir
dalam situasi kondisi yang sulit, demikian pula ungkapan terjelas terkaya
tentang iman terpancar dalam tulisan-tulisan para reformator di tengah-tengah
gerhana teologis yang dialami gereja waktu itu. Moto para reformator: Solafide,
Sola Gratia, Sola Scriptura, Sola Christo bukan sekedar slogan kosong. Moto-moto
itu sepenuhnya menyiratkan penemuan teologis para reformator akan kebenaran
esensial yang sempat dibengkokkan oleh ajaran gereja waktu itu yang menyebabkan
penghayatan orang tentang keselamatan menjadi kacau
Penting kita sadari
bahwa pada era reformasi ada berbagai konsep iman yang ditolak reformator.
Misalnya Calvin serasi dengan Luther menolak bahwa orang sudah dianggap beriman
apabila menyetujui kebenaran Alkitab seperti halnya menyetujui fakta sejarah
tanpa keterlibatan pribadi yang berpengaruh kepada kerohanian dan kehidupan
moran orang tersebut. Untuk para reformator, tanpa adanya penerimaan iman yang
hidup dari seseorang terhadap Kristus dan karya-karya-Nya maka semua karya
penyelamatan Kristus itu tidak mendatangkan manfaat apa pun. Calvin juga menolak
iman implisif, yaitu penerimaan terhadap keputusan kolektif gereja. Iman tidak
dapat diwarisi dari atau diwariskan kepada entah dalam garis keturunan atau
dalam tradisi kolektif. Harus ada hubunga timbal balik yang tidak boleh saling
meniadakan antara iman individual dan iman kolektif. Gereja tidak akan menjadi
gereja yang hidup apabila orang-orang di dalamnya bukan orang-orang yang hidup
dalam iman. Oleh karena menekankan bahwa iman sejati harus mengetahui dengan
yakin apa yang diimaninya, Calvin juga menolak perbedaan antara iman yang
“terbentuk” yang sudah disempurnakan dengan ditanamkannya tindakan-tindakan
kasih agar efektif bagi pembenaran dengan iman yang “belum terbentuk”. Untuk
Calvin, iman sejati pasti akan mengungkapkan diri dalam pengharapan dan
perbuatan kasih karena Tuhan hadir dan memerintah kehidupan orang tersebut.
Alasan dari semua penolakan Calvin atas ide-ide iman yang salah tadi adalah
agar orang sungguh berada dalam persatuan yang menyelamatkan dengan Kristus dan
mengimani, menikmati, menghayati itu dalam segala kepenuhannya dan
konsekuensinya.
Jadi, apa iman dan apa
saja unsur-unsur iman? Mengacu kepada wawasan gambling dari Calvin, “Iman
adalah suatu pengetahuan yang teguh dan pasti tentang kebaikan Allah terhadap
kita, yang didasari atas kebenaran janji anugerah bebas dalam Kristus, yang
keudanya dinyatakan ke budi kita dan dimeteraikan ke hati kita oleh Roh Kudus”.
(Ins.3.2.7).
Sayangnya dalam era
modernisme, pengetahuan diartikan hanya secara rasionalistis dan dijadikan
satu-satunya pengukur. Posisi ini jelas salah sebab kebenaran iman bersumber
pada pernyataan Allah dalam Alkitab dan fungsi akal budi adalah melayani Allah
dan kebenaran-Nya agar kebenaran itu terpahami dan terhayati secara jelas dan
tepat. Dalam era postmodernisme bandul berbalik ke arah berlawanan. Pengetahuan
disingkirkan oleh romantisme dan voluntarisme. Yang lebih dipentingkan adalah
perasaan, pengalaman, dan pilihan individual diidentikkan dengan kebenaran.
Kedua posisi ini sama-sama menempatkan
manusia atau aspek-aspek tertentu dari potensi dan keberadaan manusia sebagai
sumber atau tumpuan iman. Allah dan kebenaran-Nya hanya ditempelkan saja
sebagai pelengkap. Orang yang memiliki iman dalam kekeliruan demikian
sebenarnya sedang menempatkan dirinya dan kaidah-kaidah zaman atau budaya
menjadi tumpuan dan sasaran iman bukan Tuhan, kebenaran-Nya, janji-janji-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya, dan berbagai pengungkapan-Nya
Calvin tidak
menggunakan istilah cognito, tetapi notitia sebab yang dimaksudkannya meliputi
unsur pengetahua akal yang mengakar dalam ke pengenalan budi. Seperti halnya
hubungan seumur hidup suami-istri melibatkan unsur pengetahuan yang tepat,
demikian pula iman sejati selalu melibatkan pengetahuan intim kita akan Allah
yang kita peroleh dari menerima ajaran dan pemaparan Yesus Kristus melalui
seluruh kehidupan-Nya. Maka maksud Calvin bukan semata pengetahuan intelektual,
tetapi kesadaran hati yang mengetahui jelas akan kebenaran objek iman, yaitu
Allah dan janji-janji-Nya.
Kedua, persetujuan
(assesus). Seiring dengan pengetahuan akrab akan Allah adalah unsur persetujuan
terhadap kebenaran yang Yesus nyatakan dan yang kelak kita temukan sepanjang
proses pengenalan kita akan Dia. Pengalaman pertobatan Paulus adalah salah-satu
contoh bahwa fakta Kristus sedemikian kuatnya menyakinkan dan menaklukkan dia
untuk beriman kepada-Nya. Itu juga yang Petrus katakana (2 Pet.1:3) bahwa
kedasyatan kemuliaan Kristus telah menjadi magnit yang menarik orang untuk
beriman kepada-Nya. Karena itu B.B. Warfield berani menyimpulkan bahwa
kepercayaan, iman, bukan tindakan sembarangan dari diri seseorang, tetapi
keadaan dan tindakan mental yang mantap karena adanya alasan-alasan kuat. John
Murray menambahkan bahwa iman adalah persetujuan yang terjadi karena desakan
kuat dari fakta-fakta yang telah melalui pertimbangan akal budi secara memadai.
Desakan untuk beriman bukan sesuatu yang bisa kita tunda, tetapi kita ditarik,
didorong, didesak olehnya. Kita percaya kepada seseorang bukan karena kita
memaksakan diri kita atau menginginkannya, tetapi karena ada fakta-fakta kuat
dari orang bersangkutan bahwa ima memang terpercaya. Terhadap penipu, mau tidak
mau kita tidak memercayainya; terhadap seorang berintegritas mau tidak mau kita
memercayainya. Iman memang lebih dari sekedar setuju, tetapi tidak mungkin
tanpa unsur persetujuan.
Jika kita berhenti
hanya pada pengetahuan (notitia) dan persetujuan (assensus), kita hanya sampai
pada teologi naturalis. Karena itu masih diperlukan unsure ketiga, yaitu
penyerahan diri (fiducia). Inilah inti dari iman sejati. Alkitab lebih banyak
menggunakan kata kerja beriman, percaya, memercayai dari pada kata benda
“iman”. Iman adalah sesuatu yang aktif mewujud dalam sikap dan tindakan memercayai
Yesus Kristus dan memercayakan diri kepada-Nya. Apabila unsur ini tidak
terdapat dalam diri mereka yang mengikuti Dia, Yesus menolak memercayakan
diri-Nya kepada mereka yang percaya kepada-Nya hanya karena tertarik akan
perbuatan mukjizat-Nya (Yoh 2:23-25). Iman tanpa penyerahan diri total kepada
Yesus Kristus tidak akan membuat orang itu memiliki persekutuan dengan Kristus,
dengan demikian bukan iman yang menyelamatkan. Iman sejati menerima Kristus
(Yoh 1:12), tinggal di dalam Kristus (Yoh 15:1-11) dan seterusnya masuk dalam
rangkulan-Nya dengan penuh penyerahan diri. Iman demikian berkonsekuensi berat,
itu sebabnya Injil-injil sinoptik (Matius, Markus, Lukas) menggunakan istilah
lain”mengikut Kristus”, “memikul salib”. Itu berarti menolak semua andalan lain
demi satu-satunya andalan dan junjungan yang layak diimani. Iman berarti
mengandalkan Kristus saja sebagai Juruslamat, menyerahkan diri kepada Kristus
saja sebagai Tuhan.
Maka iman sejati yang
menyelamatkan adalah pengetahuan yang kokoh dan pasti, yang dinyatakan ke dalam
akal budi dan dimeteraikan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus. Seterusnya iman
sejati dalam pengalaman proses pertumbuhan orang berimanpun selalu akan
mengandung unsur pengetahuan kehendak Allah, persetujuan penyerahan diri kepada
kehendak Allah yang spesifik. Iman tidak boleh kita definisikan sebagai sesuatu
yang bersumber dan terdiri hanya dari unsure-unsur kehendak, perasaan,
pengertian atau tindakan dipihak kita semata. Iman sejati selalu bersumber
pada, dipimpin oleh, ditujukan kepada Allah Tritunggal dalam segala penyataan
dan karya-karya-Nya. Iman sejati adalah kelanjutan dari prinsip iman yang
menyelamatkan, yaitu yang diimani adalah Allah dalam segala sifat, kehendak dan
kebenaran-Nya seperti yang kita dengar dan jumpai dalam Alkitab, menjadi juga
Allah penyelamat, pemberi hidup, pemurni perjalanan iman kita seterusnya agar
tetap terfokus dan terarah kepada Dia saja. Semua ajaran tentang iman terutama
dalam kaitan dengan doa yang dijawab namun yang menekankan aspek hasrat manusianya
saja akan berada dalam bahaya kesesatan fatal.
Aneka Iman
- Jenis-jenis
iman
Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru memberi petunjuk bahwa bisa jadi ada berbagai jenis iman. Iman
karena atau tertuju pada mukjizat (Yoh 2:23, Mat 7:23). Iman sebagai karunia
pelayanan yang memampukan orang untuk melakukan berbagai tanda ajaib (1 Kor
13:2).
- Tingkat-tingkat
iman
Perjanjian Baru
berbicara tentang tingkat-tingkat iman. Iman kecil (Mat 6:30) dan iman besar
(Mat 8:10); iman lemah dan iman kuat (Rm 4:19-20); Iman yang bertumbuh (2 Tes
1:3); iman yang tulus (2 Tim 1:5); Iman yang sehat (Tit 1:13); orang yang penuh
iman (Kis 6:5); mereka yang menikmati keyakinan iman yang penuh (Ibr 10:22);
Iman yang sempurna (1Kor 13:2) dan iman yang kandas (1 Tim 1:19). Kristus objek
iman kita tidak berubah dulu, sekarang, dan selamanya; namun pengenalan, iman,
kasih, ketaatan, dan pengalaman kita akan Dia bertumbuh dan berpengaruh pada
kekuatan iman kita. Iman yang kuat dan dewasa adalah iman hasil persatuan terus
menerus orang beriman dengan Kristus yang menyebabkan semua rintangan dalam
diri orang bersangkutan diatasi oleh sumber-sumber melimpah dalam diri Kristus.
Orang yang bertumbuh kea rah Dia makin serupa Dia, kuat bukan untuk menghakimi
dan tambah melukai yang lemah, tetapi untuk menopang dan melayani yang beriman
lemah (Gal 6:1-6). Hal ini mendorong semua orang beriman untuk terus maju dan
bertumbuh ke arah KRISTUS, sebab di dalam hidup orang yang beriman sejati
sedang berdinamika Roh Allah sumber daya yang dasyat itu membuat kita mengalami
kebenaran-kebenaran Alkitab menjadi nyata dalam kehidupan kita.
Berbagai Iman Palsu
- Fanatisme
Fanatisme termasuk iman
palsu yang paling banyak terdapat di
Fanatisme bisa
menghasilkan tindakan-tindakan yang tidak memberi kesaksian yang baik tentang
Kristus dan iman Kristen. Beberapa kali Tuhan Yesus menegur sikap fanatisme di
antara para murid-Nya. Yang paling jelas adalah Petrus yang dengan sangat
fanatik tanpa mengetahui secara jelas mengklaim bahwa dirinya siap mati bersama
Kristus, kemudian malah mempergunakan kekerasan untuk membela Yesus karena
tidak dapat menerima bahwa Yesus harus menderita, bahkan berani menyalahi Yesus
tentang pernyataan-Nya bahwa Ia harus menderita, tetapi kemudian Petrus justru
menyangkal Yesus. Fanatisme lahir dari pengindentifikasikan diri dengan
kelompok yang secara tradisional telah dianggap menganut kekristenan sebagai
indentitas religiusnya. Konfrontasi tentang kepalsuan fanatisme adalah jalan
yang dipakai Tuhan Yesus ketika Ia memperingatkan Petrus bahwa ia akan
menyangkal Kristus tiga kali sebelum ayam berkokok. Kristus lalu kemudian
mencari, memulihkan dan memperbaharui Petrus.
- Formalisme
Inilah musuh sangat
mematikan terhadap iman sejati. Formalisme adalah sikap menerima ajaran benar tanpa ada komitmen dan
sikap merangkul, bentuk kesalehan, serta ibadah tanpa menghayati kuasa ibadah(2
Tim 3:5). Formalisme memelihara liturgy dengan hati-hati, tetapi tanpa
penghayatan hati yang hancur dan tunduk kepada Allah (Am 5:21-24); memegang
tradisi, tetapi tidak peka dan tunduk kepada aplikasi baru dari firman (Mat
15:6); berpegang pada iman yang ortodoks namun hampa kehadiran Roh dan
keyakinan/komitmen iman yang hidup
Yang ada dalam ancaman
kepalsuan iman formalistis ini terutama kepada kelompok liberal. Kelompok
liberal menjalani tata ibadah, tetap memelihara tradisi penyampaian uraian isi
Alkitab, namun tidak memercayai apa yang mereka jalani secara utuh antara akal
budi, sikap hati, dan penghayatan hidup. Formalisme bisa juga tampak dalam
formalisme liturgis, formalisme dogmatis, formalisme organisatoris. Ini mirip
dengan yang ditunjukkan oleh orang Farisi dan para ahli Taurat zaman Yesus,
mereka memelihara bentuk, tetapi kehilangan semangat dan roh yang seharusnya
menjiwai bentuk keagamaan tersebut. Ini juga yang dialami oleh jemaat di Efesus
yang bersemangat mempertahankan ajaran benar dan mendepak para bidat namun
telah kehilangan kasih yang mula-mula (Why 2:2-6). Jalan keluar dari formalisme
adalah pengalaman pembaruan nyata dari Kristus seperti yang dialami dalam
pembaruan orang-orang seperti Pascal, Aquinas, Boenhoffer. Sesudah mereka
mengalami pengalaman pemberdayaan iman, mereka menyadari bahwa pribadi Kristus
yang hidup jauh melampaui kepentingan pemahaman yang kering dan mati.
- Legalisme
Legalisme bisa berwajah
majemuk:
dogmatisme yang salah kaprah,yaitu
klaim bahwa
asketisme, yaitu upaya mencapai
kesalehan melalui disiplin-disiplin kerohanian yang diartikan sebagai cara
untuk mendapatkan kemurahan Allah;
rigorisme, yaitu sikap menjalani
kebiasaan-kebiasaan yang kaku dan keras secara tidak lentur terhadap perjalanan
dan kondisi hidup yang berubah-ubah.
Legalisme bhisa juga muncul dalam
bentuk moralisme, yaitu orang pada intinya beriman pada perbuatan-perbuatan
moralnya daripada mengarahkan imannya kepada hidup serta karya penyelamatan
Kristus.
Orang-orang
legalis biasanya bersikap kritis berlebihan, cenderung menghakimi sesamanya,
arogan dalam dogma atau spiritualitas dirinya. Sikap legalis orang Farisi dan
ahli Taurat yang menganggap diri mereka benar dan merendahkan orang lain justru
menjadi penghalang, mereka menerima Yesus. Yesus bukan melanggar hukum dan
moral, tetapi meradikalkannya ke dalam hati melalui pembaruan dan pertobatan. Orang
Kristen harus terus menerus menyadari bahwa Kristus membebaskan kita dari
perhambaan dosa dan prinsip legalistis (Taurat). Kita adalah kebenaran, damai
sejahtera dan sukacita dalam Roh Kudus, bukan masalah boleh atau tidak boleh
makan dan minum tertentu (Rm 14:7). Injil membebaskan kita dari berbagai
legalisme dan tabu religius dan moral. Kebenaran inilah yang sebenarnya
ditemukan Luther dan kemudian menjadi gerakan yang menyadari bahwa salah satu
prinsip penting kekristenan adalah Sola Fide. Iman yang memerdekakan justru
membuat kita menaati Allah dan firman-Nya dalam kemerdekaan bukan dalam
semangat perbudakan.
- Enthusiasme
Iman palsu ini mungkin
sekali paling banyak dikembangkan di kalangan kelompok-kelompok spiritualis
yang mengatasnamakan pengalaman Kristen, namun sebenarnya merancukannya atau
mencampuradukkannya dengan pemahaman spiritualitas timur. Ethusiasme ini,
antara lain menekankan ekstasi rohani, yaitu Enthusiasme ini, antara lain
menekankan ekstasi rohani, yaitu pengalaman ekstra atau super rohani seseorang
mengatasi dirinya menyatu ke dalam diri Allah, menjadikan pengalaman
ekstra/super tersebut lebih penting daripada Alkitab, tradisi dank redo-kredp
(keyakinan). Mereka mencari tanda dan pengalaman rohani khsusu, mengklaim bahwa
mereka telah beroleh pengalaman, pengetahuan, dan kondisi yang membuat mereka
menyelami kedalaman misteri-misteri iman. Mereka melaporkan bahwa mereka
mendapatkan berbagai karunia rohani yang seba super, pernah tur ke surga,
mendapatkan wahyu baru, doa selalu dikabulkan, dlsb. Mereka mengartikan iman
sebagai keyakinan teguh yang memiliki kekuatan untuk mendesak atau memaksa
Tuhan melakukan hal-hal yang mereka klaim (bukan mohon) kepada Allah. Mereka
menafsirkan ayat-ayat janji jawab doa dengan iman teguh secara salah (Mat
7:7-8); Mrk 11:24)
Bukannya mereka menjadi
pelayan Allah dan tunduk kepada-Nya, mereka justru menjadikan diri mereka ahli
dalam iman dan spiritualitas sehingga mengetahui dan memiliki rahasia-rahasia
Kerajaan Allah. Mereka bukan terus menerus memandang kepada kematian dan
kebangkitan Kristus, tetapi berkelanjutan memfokuskan diri pada berbagai
pengalaman iman mereka sendiri. Mereka tidak sadar bahwa yang mereka pahami
adalah lebih menekankan aspek perasaan dan pengalaman daripada aspek pemahaman
dan kebenaran firman. Hakikat kebenaran iman tidak bergantung pada pengalaman,
perasaan dan pikiran manusia, tetapi pada iman yang jauh lebih luas dan lebih
mendasar daripada perasaan, meski memang meliputi aspek perasaan. Dalam hal ini
mereka jatuh kepada memberhalakan pengalaman, perasaan, dan berbagai wawasan
spiritual lainnya. Mereka juga cenderung jatuh ke dalam arogansi spiritual.
Orang yang bertumbuh dalam Tuhan bukan makin merasa lebih rohani dan lebih
unggul iman, tapi makin menyadari kelemahan, ketidakberdayaan bila tanpa
anugerah Allah.
Enthusiasme bisa
menjerumuskan orang ke sikap antinomianisme, superspiritualis, spiritisme,
okultisme, egoisme rohani. Seharusnya seperti yang disadari Luther dan Calvin,
kita hanya bisa bertumbuh menuju kemuliaan jika kita terus memikul salib kita.
Tidak ada teologi kemuliaan tanpa teologi salib, tidak ada spritualitas
kemuliaan tanpa spiritualitas salib! Kemuliaan melalui salib adalah kemuliaan
sejati karena melalui proses pemurnian dari api kebenaran ilahi. Kemuliaan yang
tidak melalui jalan salib, tetapi dengan jalan hasrat ego dan khayal-khayal
spiritual liar adalah hal yang tidak murni dan tidak layak di hadapan Allah.
- Passivisme
(kemalasan)
Sebentuk iman palsu
lainnya adalah wujud kemalasan terselubung dalam jubah rohani. Pada orang yang
menghayati iman pasif ini ada kecenderungan menggunakan jargon-jargon seperti
“menantikan pimpinan Tuhan”, “bergantung pada gerakan Roh Allah”, “menunggu
waktu Tuhan”. Pada intinya jargon-jargon yang seolah mengutamakan Tuhan tersebut
menjadi persembunyian bagi kemalasan untuk bertindak sesuai dan menaati firman
Tuhan. Memang dalam iman sejati selalu ada unsur pasif, tetapi unsur pasif ini
selalu membuat orang menjadi aktif. Unsur tersebut pasif karena tumpuan iman
adalah penyataan diri Allah dan perwujudan kehendak-Nya dalam karya Yesus
Kristus. Terhadap semua itu tidak ada satupun yang perlu kita tambahkan atau
yang boleh kita tambahkan. Semuanya sudah lengkap, genap. Namun apabila iman
sungguh bertumpu pada Allah dan karya-karya-Nya dalam Yesus Kristus, maka iman
akan bergerak seirama dengan sisi aktifnya itu.
Akibat memiliki iman
sejati kita bergerak di dalam gerak kebenaran seperti yang dimotori oleh Roh
Kudus. Iman sejati membuat kita aktif melawan dosa dan sifat-sifat buruk kita
dengan menghisabkannya mati bersama Kristus, membuat kita aktif dalam doa
berdialog dengan firman dan kehendak Allah hingga kita menyesuaikan doa kita
dengan kehendak-Nya bukan memaksa Tuhan menaati permohonan kita, melainkan
mendorong kita aktif dalam disiplin-disiiplin rohani yang menunjang pertumbuhan
iman. Aktif adalah tanda adanya iman yang hidup. Iman malas adalah iman pasrah
yang membuat orang berlindung ke balik pimpinan Allah, waktu Allah, dlsb. demi
menghindari kewajiban dan kegiatan iman yang seharusnya merupakan tanggung
jawab atau ujud kongret iman dalam kehidupan kita.
Seiring dengan
passivisme ini bisa juga timbul penekanan pada perasaan senang, damai tenang
sebagai tanda bahwa orang ada dalam iman sejati. Memang iman sejati bisa
menghasilkan berbagai perasaan seperti itu, namun perasaan bukan andalan untuk
memastikan adanya iman yang benar di hadapan Tuhan. Pada dasarnya segala
sesuatu yang berasal dari diri manusia seperti pikiran, perasaan, kehendak,
intuisi dan imajinasi tidak dapat dijadikan dasar untuk mengukur ada tidaknya
iman sebab bila demikian iman menjadi iman kepada diri sendiri. Iman selalu
harus diukur berdasarkan kebenaran Allah semata.
- Faktaisme
Agak berbeda dari yang
dikritik Calvin tentang orang-orang yang memercayai histories Alkitab lalu
menerimanya bukan dengan komitmen, yang saya maksud dengan faktaisme di sini
adalah sejenis pembenaran adanya iman karena adanya pengalaman-pengalaman
tertentu. Pengalaman menjadi landasan bahwa iman seseorang benar adanya.
Pengalaman itu bisa dalam berbagai bentuk tanda ajaib dan mukjizat, bisa juga
dalam bentuk fakta-fakta lain dalam perasaan dan pengalaman seseorang. Orang
bisa menganggap bahwa kejadian-kejadian tidak biasa yang dialami menjadi
pendukung bahwa yang ia jalani dalam perjalan imannya benar adanya. Orang
cenderung menjadikan fakta-fakta yang ditafsirkannya benar atau ada campur
tangan ilahi sebagai dasar pembenaran bahwa dirinya ada dalam iman yang benar.
Memang iman tertuju
kepada kebenaran dan kebenaran selalu bermuatan fakta. Akan tetapi, tidak semua
fakta yang seseorang alami adalah kebenara, atau mengandung kebenaran, atau
berasal dari Allah yang benar adanya. Banyak pengalaman mukjizat yang bersumber
dari penipuan diri sendiri, sugesti diri, atau bahkan dari tipu daya iblis.
Juga banyak fakta yang memang merupakan kenyataan realitas, tetapi tidak
otomatis mendukung bahwa seseorang sedang dalam hubungan iman yang benar dengan
Tuhan. Semua fakta harus dievaluasi dan ditimbang berdasarkan otoritas
tertinggi, yaitu kebenaran firman Allah. Bahkan ketika fakta yang seseorang
alami benar sekalipun, itu tidak dapat dijadikan patokan terus menerus untuk
pengalaman berikutnya atau tidak cukup kokoh untuk dijadikan sumber keberimanan
seseorang. Satu-satunya yang membuat iman kita aman adalah Allah dalam
kesetiaan-Nya kepada kehendak dan kebenaran-Nya.
Fakta lain yang sering
dijadikan dasar untuk membenarkan iman adalah fakta keberhasilan kegiatan
Kristen dan Gereja. Kita cenderung berpikir bahwa kalau suatu gereja berkembang
pesat, anggotanya (atau pengunjungnya?) menjadi banyak, proyek-proyeknya
berlipat ganda, maka gereja tersebut pasti benar. Harus kita akui bahwa
pelayanan yang benar tentu berakibat pada banyaknya kehidupan yang diberkati
dan diubahkan. Akan tetapi, pelayanan, pengajaran, dan tekanan-tekanan yang
salah dan bertolak belakang atau memutarbalikkan Alkitab pun bisa kelihatan
berhasil dalam bentuk banyak pengikut dan peminat. Gereja-gereja yang liberal
pun bisa tetap ada kegiatan sebab ditopang oleh organisasi dan system yang
kuat. Gereja-gereja yang mengorbarkan spiritualitas emosional eksperiential
berlebihan bukan main diminati orang seolah malahan menggeser gereja-gereja
yang cenderung liberal sebab kerapihan liturgis dan organisatoris tetap tidak
bisa mengisi kebutuhan terdalam manusia. Akan tetapi, fakta banyaknya
pengunjung gereja bisa juga menjadi peringatan bahwa sebenarnya gereja itu
sedang melacur dengan arus permintaan market alias pandai membunglon. Tuhan
Yesus memberikan peringatan bahwa jalan kehidupan sempit dan sulit, jadi bila
ada suatu gerakan pelayanan Kristen atau geraja yang demikian membangkitkan
sambutan meluap dari mayoritas, besar kemungkinan justru sedang membuat diri
menjadi pelayan selera mayoritas bukan pelayan Kristus.
- Kata-kata
iman
Jenis iman palsu ini
akhir-akhir ini banyak diajarkan juga dikalangan gerakan-gerakan yang cenderung
menempatkan perasaan dan pengalaman di atas pemahaman yang benar akan kebenaran
Alkitab. Mereka menganggap iman bukan sebagai sikap percaya dan taat seseorang
kepada Allah dan kebenaran-Nya tetapi menganggap iman adalah Kuasa. Kuasa
tersebut teralami dan bersifat nyata dan penuh daya. Daya iman inilah yang
menjadi penyebab hokum-hukum dunia roh berfungsi. Dunia beredar karena adanya
kekuatan iman ini yang berdiam di dalam keberadaan Allah. Allah tidak berdaya
berbuat apa pun bagi manusia, kecuali ada iman.
Pandangan ini
menganggap bahwa iman adalah sumber kuasa dalam diri Allah. Dengan kata lain
Allah sendiri beriman dan daya-daya dalam diri Allah digerakkan oleh adanya
iman dari pihak kita. Iman mengaktifkan Allah, takut mengaktifkan Iblis.
Pengaktifan daya iman itu terjadi melalui kata-kata. Kata-kata adalah wadah
bagi iman diungkapkan, diaktifkan dan dioperasikan. Jika seseorang mengucapkan
kata-kata iman, ia mengaktifkan daya ke arah dampak positif. Sebaliknya bila ia
menyebutkan kata-kata bukan iman, ia mengaktifkan daya ke arah negatif. Banyak
rohaniawan mengajarkan salah karena penyalahtafsiran ayat-ayat seperti Ibrani 11:1, Markus 11:23, Amsal 6:2.
Cara penafsiran itu dikenal sebagai kekeliruan proof-texting atau pencomotan
ayat bukti tanpa memedulikan konteks dan maksud asal istilah dalam ayat itu
sesungguhnya. Bahwa pandangan ini jelas salah bahkan sesat dapat dengan
sederhana kita simpulkan bila kita mempertanyakan apa beda konsep di balik
kata-kata iman ini dengan mantra-mantra?
Jika para reformator
mengajarkan bahwa iman sejati adalah iman yang ditundukkan kepada kebenaran dan
kehendak Allah, mereka yang menganjurkan kata-kata iman mengajarkan bahwa iman
adalah memperkatakan hasrat-hasrat yang orang anggap benar. Hasrat yang
dianggap benar itu boleh jadi positive thinking, possibility thingking tentang
apa saja (termasuk keduniawian dan nafsu liar manusia berdosa), demi apa yang diri orang itu
sendiri inginkan, yang ia anggap baik dan golongkan sebagai sesuatu yang benar.
Jika para reformator melihat bahwa unsure-unsur iman adalah pengetahuan,
persetujuan dan penyerahan diri, mereka menganggap unsure-unsur iman adalah
memperkatakan, bertindak, menerima lalu menyampaikan kepada orang lain agar
orang lain tertular oleh prinsip yang sama. Apa yang Alkitab sebut sebagai
kesesatan dan mengur penganjurnya sebagai dukun dan penyesat, kini
memploklamirkan diri sebagai pengajur revolusioner konsep iman berdaya dahsyat.
Kesesatan okultisme dalam ajaran ini adalah anggapan bahwa di dalam diri tiap
manusia ada kuasa yang siap untuk dilepaskan, bahwa kuasa dengan bantuan
visualisasi yang kreatif yang kemudian diperkatakan mampu membuat hal-hal
tersebut terujud menjadi kenyataan. Cukuplah kita sadari bahwa orang-orang dan
ajaran-ajaran mereka, bila kita analisis secara cermat dan mendalam akan
ditemukan mengambil ajaran-ajaran mistik dan okultisme yang bersumber dari roh
penyesat.
Penguji Kesejatian Iman
Iman sejati untuk mudahnya dapat
kita bagi ke dalam dua kelompok. Pertama, iman tersebut mengandung kebenaran
yang bersumber pada sifat hakiki ketritunggalan Allah. Oleh karena itu, iman
sejati memiliki unsur-unsur berikut:
- Revelational:
Sesuai pernyataan dari Allah Bapa
- Kristologi:
Bertumpu pada hidup dan karya Yesus Kristus
- Spiritual:
memiliki daya yang dihidupkan oleh Roh Kudus
Kedua, iman tersebut mengungkapkan
diri dalam pola Tritunggal juga seperti yang dialami dalam kehidupan pribadi
dan kebersamaan kita.
- Revelational
Iman yang benar dan
sehat bersumber pada Allah yang menyatakan diri-Nya dan kehendak-Nya. Oleh
karena itu, iman mengandung pemahaman yang bertumbuh tentang Allah dan
kehendak-Nya seperti yang Ia nyatakan dalam Alkitab. Iman yang menyelamatkan
minimal harus pernah mendengar Injil (Rm.10:9; mengaku Yesus adalah Tuhan), dan
Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati; Mat 28:18-20). Iman
sejati adalah iman yang aktif bertumbuh karena mengenal Allah dan kehendak-Nya
melalui pergaulan akrab dengan firman-Nya. Pembacaan, perenungan, dan
penghayatan seluruh isi Alkitab adalah faktor esensial pertumbuhan iman secara
benar dan tepat.
- Kristologis
Iman yang benar adalah
iman yang menyelamatkan karena merangkul Kristus dan segenap karya-Nya untuk
berlaku bagi kehidupan kita. Di luar Kristus dan lepas dari Kristus tidak ada
iman sejati menurut definisi Alkitab. Kristus harus menjadi nabi, imam dan raja
atas kehidupan kita. Firman dan kehidupan-Nya harus terus menerus menjadi
pemandu bagi kehidupan dan pelayanan kita. Karya penebusan-Nya menjadi sumber
bagi pembenaran, pengudusan, dan pemuliaan kita. Teladan kehidupan-Nya dan
keTuhanan-Nya menjadi kata akhir bagi keputusan individual, bergereja, dan
bermasyarakat yang kita ambil dari detik ke detik.
- Spiritual
Iman sejati pasti
membuat kita mengalami hal-hal yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam diri kita,
dengan tujuan membuat Kristus makin nyata diam di dalam kita dan kita makin
serasi dengan Dia dan segenap kepentingan Kerajaan-Nya. Iman sejati akan
membuat kita bertumbuh ke arah kasih dan kerendahan hati seperti yang nyata
dalam buah Roh dan semakin partisipatif dengan dorongan, urapan, dan
perlengkapan karunia yang Roh Allah berikan agar kita kita menjadi lascar
Kristus yang efektif. Iman sejati akan melahirkan buah Roh, yaitu ungkapan dari
sifat dan kebenaran Allah sendiri seperti yang dioperasikan oleh Roh Allah.
Oleh karena bersumber dari dan ditujukan kepada kebenaran Allah, maka iman
sejati pun benar adanya dan melahirkan hal-hal yang serasi dengan kebenaran
- Komunal
Iman sejati akan
membuat kita mampu membeda-bedakan apa yang benar dan salah, juga sekaligus
memiliki spirit persekutuan kasih dalam kebenaran.
- Moral
Iman sejati akan
memiliki tanda, yaitu dalam bentuk perbuatan-perbuatan iman. Iman sejati hidup
bukan mati, dengan ada kegiatan, perbuatan dan tindakan sebagai buah pertobatan
dan ketaatan. Orang yang imannya sejati mengalami kebenaran firman baik yang
menyangkut ibadah maupun etika bukan sebagai kebenaran yang tertulis di luar
diri, tetapi sebagai proses pengukiran firman dalam lubuk hati, nurani,
komitmen, dan karakter terdalam. Untuk pengikut Kristus moral bertumpu pada
tiga landasan: Kebenaran moral Allah, tujuan mulia Allah untuk manusia dan
pembaruan Roh Kudus yang menyebabkan moralitas dari Allah tertanam dan terukir
menyatu di dalam prinsip dan sanubari terdalam orang beriman
- Sosial
Iman sejati, terpancar
dalam sikap dan tindakan social yang menyaksikan Kristus, bermisi dan beretoskan
Kristen dalam segala seginya. Pengikut Kristus akan mengiringi Kristus dalam
menjalani realitas sosialnya. Seperti halnya Kristus bersahabat, menolong dan
berelasi wajar, demikian juga orang beriman. Seperti halnya Kristus berjalan
dengan integritas, demikian pula pengikut-Nya memiliki integritas tanpa
kompromi. Seperti halnya Kristus bersosial dan menaklukkan diri kepada Bapa
yang mengakibatkan kehidupan bermisi, demikian juga kita dilayakkan dan
dimungkinkan-Nya untuk menjadi garam dan terang dunia
|
Karakteristik Iman-Iman Palsu:
|
Karakteristik Iman Sejati |
|
1.
Klaim-klaim
khusus. Klaim bahwa seseorang beroleh urapan khusus. Klaim bahwa seseorang
memiliki kuasa ilahi khusus dari Allah 2.
Otoriter.
Orang yang menganjurkan iman palsu biasanya bersifat dictator dalam
kepemimpinannya 3.
Ekslusivisme.
Mentalitas “kami”-“mereka” dikembangkan dalam kelompok-kelompok ekstremis
sempalan yang mengembangkan ajaran iman yang menyesatkan 4.
Iman
condong diartikan dan dipraktikkan sebagai usaha yang mampu membujuk,
menggerakkan, memaksa atau meyakinkan Tuhan mengikuti kehendak orang beriman
palsu itu. 5.
Tidak
ada atau tidak sedia memberikan akuntabilitas kehidupan dan ajaran 6.
Tidak
terforkus kepada Allah tetapi kepada kebutuhan-kebutuhan atau hasrat-hasrat
diri sendiri, kepada kekaguman orang terhadapnya, kepada keinginan untuk
dihargai 7.
Iman
palsu pada intinya membuat tumpuan iman yang palsu dan menunjukan imannya
kepada realita yang semu
|
1. Terfokus kepada Allah
2. Bertumbuh sehingga
membuat orang memiliki kehidupan teruji dan terpuji
3. Memiliki keimbangan
antara harga diri yang benar dan semangat merendahkan hati dan melayani 4. Menyadari dan
mengakui adanya kerentanan dalam dirinya 5. Tidak bersikap
defensive, tidak menghakimi orang lain 6.
Berelasi
wajar
7. Berwawasan realitas
yang benar |
Prinsip Iman Sejati dari Kisah
Abraham (Kej 22:1-19)
Saya memilih kisah ini untuk kita
belajar dari bukti kehidupan nyata tokoh Alkitab tentang iman karena beberapa
alasan. Kisah Abraham dan Ishak ini relevan sebab menyangkut kisah dari tahapan
iman yang sudah beberapa tingkat lebih
maju dari tahapan ia menerima panggilan dan janji kelahiran Ishak baginya dari
Allah. Kisah ini juga dapat dilihat sekaligus menampung baik perspektif Paulus
maupun Yakobus tentang iman. Lebih tepatnya, perpektif iman dalam kitab Ibrani
yang merangkul baik aspek pemercayaan diri kepada janji-janji Allah maupun
aspek tindakan nyata merespons kehendak Allah.
Dari
kisah ini kita dapat memetik beberapa prinsip penting tentang iman sejati yang
bertumbuh dan mengalami pemurnian. Pertama, firman Allah bukan saja sumber
terbitnya iman, tapi juga sumber pengujian iman. Entah iman dalam tahap awalnya
maupun dalam tahap kelanjutannya; entah iman dalam aspek objektifnya maupun
dalam aspek subjektifnya; entah iman pada saat orang mengalami keselamatan atau
pun ketika orang menjalani pendewasaan dan pemurniaan, semuanya selalu bertumpu
pada firman Allah. Firman Allah tidak hanya menginformasikan apa yang harus
diimani, tetapi juga menimbulkan konsekuensi untuk melepas hal-hal yang
menganggu atau yang tidak layak dijadikan dasar iman. Iman sejati pasti akan
diuji. Tujuan ujian adalah membuktikan sejauh mana Abraham taat “berjalan
dihadapan Allah tanpa cacat” (Kej 17:1). Tujuannya adalah menjadikan iman itu
bukan terfokus kepada kemampanan, tapi kepada Allah saja. Bahkan pemberian
Allah yang merupakan penggenapan dari janji-janji Allah yang teralami karena beriman pun, tidak boleh
mengganjal dalam hubungan iman selanjutnya.
Berbeda
dari pasal-pasal sebelumnya (12,15,17), dalam pasal tentang pengujian iman ini
Allah tidak disebut sebagai Yahwe, tetapi sebagai Allah, seolah Abraham belum
mengenal dan perlu pengenalan baru (meningkat) akan Allah. Dalam kehidupan
orang beriman memang ada banyak momen dan peristiwa Allah seolah jauh, asing,
tidak seperti yang kita kenal sebelumnya. Tahap dan momen demikian sebenarnya
bertujuan tidak hanya untuk membuat kita tidak mengandalkan apapun di sekitar
Allah atau di sekitar kita dari Allah yang bukan Allah itu sendiri, tapi juga
agar kita menapak maju dari pengenalan iman yang satu ke pengenalan iman yang
lain akan Allah. Ujian ini bukan sandiwara dan dari perspektif Abraham, di
dalam ujian ini terkandung ancaman bahwa seluruh progress imannya selama ini
harus balik ke titik nol kembali. Bagi Abraham iman harus dibuktikan tidak
hanya dengan kata, tapi dengan tindakan taat. Bila demikian halnya dengan bapak
orang beriman, apakah ada kemewahan perkecualian untuk kita? Pasti tidak!
Kedua,
Kepekaan dan ketaatan kepada firman. Tindakan Abraham lahir bukan karena antusiasme
atau heroisme, tapi karena firman Allah datang kepadanya. Ketaatan Abraham
digambarkan sebagai tindakan segera: pagi-pagi benar ia bersiap-siap untuk
berangkat. Derek Kidner memberikan komentar penting tentang sikap Abraham
ini:”Akan aman kita bila memupuk kebiasaan bersegera menghadapi konsekuensi
sulit yang muncul sebagai konsekuensi
iman, dengan ketetapan hati.” Abraham juga taat dengan penuh kesadaran-membawa
segenap perbekalan yang perlu. Ia taat teguh (22-3-4). Perjalanan itu sekitar
60-75km (4 hari perjalanan) dan sepanjang hari yang berat itu ia tetap teguh.
Ia taat sendiri tanpa hiburan, dukungan dari siapa pun. Ishak tentunya bukan
hiburan atau dukungan, tapi justru menjadi bagian terberat dalam pergumulan
imannya.
Ketiga,
ketaatan adalah bagian dari iman sejati (5). Kepada para hambanya, Abraham
memberikan jawaban yang memancarkan adanya iman yang luar biasa.”Kami akan
menyembah Allah dan kami akan kembali kepadamu.” Inilah komentar Ibrani 11:19,
percaya Abraham kepada Allah kebangkitan. Pada waktu ia menerima janji
kelahiran Ishak dari Allah, ia belajar bahwa tidak ada yang mustahil sebab
Allah adalah pencipta. Selagi menjalani pergumulan ketaatan iman yang luar
biasa berat, imannya bertumbuh tertuju kepada Allah saja dan lahirlah iman akan
Allah kebangkitan. Begini komentar Calvin lebih lanjut:”Ketika ia menyimpulkan
bahwa Allah yang ia kenal sejauh ini tidak mungkin menjadi musuhnya, meski
tidak saat itu juga ia beroleh jawab yang menyingkirkan pertentangan yang
sedang dialaminya, kendati demikian, oleh pengharapan, ia mempertemukan
perintah Allah tersebut dengan janji-janji-Nya.; oleh sebab tanpa sedikitpun
keraguan ia yakin bahwa Allah setia, maka ia menyerahkan ketidaktahuannya
tentang bagaimana hal tersebut diselesaikan Allah kepada pemeliharaan Allah.”
Pernyataan kepada para hambanya itu juga memperlihatkan kerendahan hati
Abraham, pernyataan ketundukan autentik dari orang yang menanggung lukan konsekuensi
ketaatan.
Dalam
ayat 9-10 kita seolah menyaksikan slow motion (gerakan lambat). Itulah puncak
iman yang taat, dimurnikan, terfokus bukan kepada kemapanan apapun, tetapi
kepada Allah semata. Ketika menjalani tanjakan berat meluluhkan hati itulah ian
menanjak lebih tinggi mengalami pemurnian iman, pengenalan akan Allah yang
berfaset lebih kaya dan beroleh keperkasaan iman yang bukan berasal dari
kondisi-kondisi kemanusiaannya. Di dalam iman taat penuh ini, tanpa disadarinya
Abraham telah menjadi baying-bayang Allah yang kelak akan mengurbankan Putra
Tunggalnya sendiri. Itulah puncak kemuliaan iman sejati, dalam segala hal
menyerupai kehendak dan perbuatan Allah. Tidak tersisa sedikitpun tentang
pementingan diri entah berbentuk keraguan, egoisme, keserakahan, dlsb. Bukankah
itu pula yang Yesus janjikan: Barang siapa taat kepada perintah-Nya, Ia dan
Bapa akan datang dan diam di dalam orang itu. Iman seakrab itu dengan Allah
yang membuat kehadirn dan ketuhanan Allah-bukan pemberian Allah yang berkenan
dengan kepentingan diri orang beriman-hadir cemerlang memerintah penuh
kehidupan (20/9/07)
(- Penulis: Paul Hidayat)
Kepustakaan
Arterburn,
Stephen & Jack Felton. Toxic Faith.
Berkhof, Louis. Systematic Theologu,
new combined editing.
Bloesch,
Donald G. Faith & Its Counterfeits.
Boice,
James Monthomery. Foundations of the
Christian Faith, revised ed.
Calvin, John. Institues of Christian Religion 1, ed. John
T. McNeill
Philadelpia: The
Hadiwijono,
Harun. Iman Kristen.
Hicks,
Peter. Evangelicals & Truth: A
Creative Proposal for A Postmodern Age.
McGrath,
Alister. A Passion for truth.
McLaren,
Brian D. A New Kind of Christian. San
Fransisco: A Joley Bass, 2001
Tidball,
Derek. The Message of the Cross.
![]()
Dikutip
dari Santapan Harian - Yayasan
Persekutuan Pembaca Alkitab (PPA)
Artikel
Sisipan Edisi Mei – Juni; Juli-Agustus,
September-Oktober, November-Desember 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar