Arsip Blog

Kamis, 31 Maret 2022

Iman Sejati vs Iman-iman Palsu


Penulis PAUL HIDAYAT (PPA)

 Iman sentral dan vital adanya. Sedikit pengetahuan isi Alkitab cukup membuat kita menyimpulkan itu. Mazmur 37:3-5 mengajarkan bahwa percaya kepada Tuhan adalah dasar yang memungkinkan orang untuk setia dalam Tuhan, berlaku baik, memiliki kehidupan yang bergembira, dan membuatnya mengalami campur tangan Tuhan di tengah tekanan kondisi zaman yang tidak benar. Habakuk 2:4b yang lahir dalam kegoncangan moral-spiritual Habakuk, dengan indah menegaskan pengakuan iman adalah penyebab seseorang hidup benar. Paulus dalam Rm 1:17 tidak saja mengulang kembali pengakuan Habakuk, tetapi menjelaskan lebih terang bahwa seluruh perjalanan hidup orang benar adalah proses hidup beriman. Pengajaran penting ini kemudian ditemukan kebenarannya oleh Martin Luther dalam kegelisahan rohaninya bahwa iman, bukan kondisi moral-spiritualnya, yang membuat ia dan semua orang beriman dibenarkan oleh Allah di dalam hidup dan karya Yesus Kristus. Penulis Ibrani bahkan mengabdikan seluruh pasal 11 untuk menguraikan penting dan vitalnya iman disertai banyak contoh para tokoh iman Perjanjian Lama

            Dalam perspektif Petrus, iman mendapatkan kedudukan fondasional (2 Pet 1:5-10). Iman adalah dasar atau awal dari seluruh pertumbuhan keikutsertaan orang terhadap Yesus Kristus yang meliputi pembaruan segenap aspek hidup manusia sampai  pada puncaknya dalam kasih ia semakin mengenal Yesus Kristus, dan dengan penuh hasrat melayani Dia saja. Sedangkan dalam pemahaman Paulus, iman menjadi salah satu dari essensi kekristenan yang bersama pengharapan dan kasih sering juga disebut sebagai kebajikan-kebajikan teologis (1 Kor 13:13)

            Sampai di sini saya yakin bahwa Anda tahu dan setuju tentang sentralitas dan vitalitas iman bagi kehidupan dan pelayanan kita. Mengapa kini kita perlu membahasnya ulang? Meski sentral dan vital, ternyata pemahaman Gereja tentang iman tidak selalu setia, benar, tepat dan lengkap seperti yang Alkitab bukakan. Lagi pula sejarah Gereja menyaksikan bahwa berabad-abad sesudah iman Kristen beroleh pengakuan sebagai agama resmi Roma, pemahaman dan penghayatan tentang iman tidak saja merosot, tetapi juga menyimpang bahkan sampai sesat. Dalam sepanjang sejarah Gereja bahaya kesesatan iman itu terjadi berulang kali dan perlu tindakkan pelurusan oleh Allah sendiri, dengan membangkitkan para hamba-Nya yang setia agar Gereja tetap terpelihara dalam kebenaran. Salah satu peristiwa intervensi Allah dalam sejarah Gereja itu adalah reformasi. Melalui pergumulan para tokoh reformasi, sentralitas dan vitalitas iman bagi keselamatan diakui kembali. Salah satu pengenalan terjenih tentang iman-definisi, elemen-elemen esensial yang membentuk iman menjadi benar dalam kaitan dengan Yesus Kristus, Roh Kudus, Alkitab dan berbagai aspek kemanusiaan kita dalam iman-dipaparkan dengan teliti terutama oleh Calvin dan para sahabatnya

            Alasan lain mengapa kita sekarang sangat perlu menghayati iman dengan jelas dan benar adalah adanya pergumulan zaman yang berbeda dari zaman kini. Dalam era modern, beriman identik dengan bodoh, lemah, tidak rasional, kurang intelek. Dalam era kita kini, era pascamodern, beriman secara khas, jelas dan terfokus bisa jadi akan dilabelkan sebagai ekstremis, fundamentalis, bahkan teroris. Pascamodernisme sedemikian menggandrungi segala macam pengalaman iman, kecuali iman yang berpaut setia kepada Yesus Kristus dan pernyataan Allah dalam Alkitab. Orang Kristen yang berpaut teguh pada firman hidup dan firman tertulis perlu bersiap-siap untuk dianggap membahayakan kerukunan masyarakat yang nyata-nyata majemuk adanya, dan karenanya dianggap ‘teroris’. Era ini hanya bisa menoleransi iman yang bersedia menjadi pluraris. Selain itu, kini orang menerima iman bukan lagi atas dasar bukti-bukti sains, tetapi atas dasar bukti pengalaman dan manfaat nyata. Iman menjadi hal popular, namun dalam kecenderungan terbuka pada iman bersuasana pasar malam. Kita perlu pemahaman dan penghayatan iman yang mampu berbicara secara bermakna terhadap konteks zaman kita kini pascamodern.

            Hal-hal yang sangat vital dan esensial tidak boleh kita andaikan seolah pasti kita sudah mengetahuinya dan menghayatinya dengan benar. Alkitab penuh dengan contoh dan peringatan bahwa kerap kali umat Tuhan kedapatan dalam posisi tidak beriman atau dalam kondisi beriman lemah. Entah kita pemimpin, aktivis atau jemaat, kita wajib memastikan bahwa kita tidak tergolong para nabi palsu yang memberikan  janji-janji bohong kepada orang banyak (Yer 23:16-17) atau tergolong para pengajar palsu yang hanya ingin memuaskan hasrat menyimpang kebanyakan orang (2Tim 3:7)

            Tantangan-tantangan apa saja yang kini sedang kita hadapi? Saya akan mengajukan beberapa hal berikut ini untuk Anda pikirkan secara mendalam. Kita seringkali mendengar ungkapan “menurut iman kita masing-masing”. Hal itu diucapkan terutama dalam kesempatan para penganut berbagai agama berbeda bejumpa entah untuk kegiatan social atau kegiatan berdoa bersama. Dengan ungkapan demikian bukankah terbuka kemungkinan kita berangsur-angsur berpikir seperti ini:1 Rupanya ada banyak kebenaran dan pengalaman iman dalam dunia ini. 2) Jangan-jangan bukan saja iman Kristen/iman dalam Kristus yang menyelamatkan. 3) Jika ada begitu banyak pemahaman dan penghayatan, tidaklah terbuka kemungkinan kita saling belajar untuk memperkaya iman kita? 4) Bila ada banyak tradisi dan kebiasaan religiuts yang didalamnya latihan keimanan dapat dikembangkan, tidakkah orang Kristen bisa juga belajar latihan-latihan tersebut untuk memperkaya spiritualitasnya?

            Barangkali kita berpikir bahwa kita tidak akan terjebak kedalam sikap relative atau kompromistik atau sinkretis. Akan tetapi, coba anda pertimbangkan lebih jauh lagi. Bagaimana bila orang Kristen mempraktekkan yoga, belajar reiki, latihan prana, dlsb? Di salah-satu gereja yang mengundang saya untuk membawakan soal spiritualitas vs spiritisme, doa penutupnya yang kemungkinan dipimpin oleh rohaniawan setempat mengatakan agar semua yang hadir waktu itu tidak legalistic. Dengan kata lain, ia menolak kritik-kritik tajam saya tentang spiritualitas tipuan spiritisme itu. Bagaimana pendapat Anda tentang ungkapan-ungkapan seperti yang dipakai oleh Stephen Covey dalam the 8Th habit? Bagaimana komentar Anda tentang pergeseran tekanan dari IQ (Intelligent Quotient, yaitu kecerdasan intelektual) ke EQ (Emotional Quotient, yaitu kecerdasan  rohani)? Saya melihat bahaya masuknya mistisisme naturalis dan mitisisme okultis ke kalangan Kristen yang berspirit keterbukaan. Mungkin ini karena ketidaktahuan atau memang sinkretis. Mistisisme seperti yang dianjurkan dalam berbagai pelatihan pengembangan diri menggunakan bahasa-bahasa kemanusiaan universal seolah hanya mengacu kepada potensi-potensi natural di dalam manusia pada umumnya. Akan tetapi, tanpa disadari latihan-latihan tersebut sesungguhnya sudah menggunakan acuan-acuan mistisisme Timur yang menjerumuskan orang kepada okultisme

            Bahaya salah pemahaman dan penghayatan tentang iman justru lebih hebat lagi terjadi di kalangan yang paling sering menggembar-gemborkan iman. Berbagai kesaksian, bahasan tentang kehidupan dan metode doa, prinsip-prinsip iman seperti yang meluas diajarkan di banyak aliran ekstrim sempalan tidak terkecuali meluap masuk ke aliran Gereja arus utama. Belum lama ini saya membahas topik tentang hubungan  doa dan kebiasaan merenungkan firman di sebuah gereja arus utama. Lalu ada seorang bertanya/berkomentar begini:”Pak, kalau tiap kali kita menaikkan permohonan doa kita mengucap, ‘jangan kehendakku yang jadi, kehendak-Mulah yang jadi;sampai kapanpun kita tidak akan mendapat apa-apa.” Nada yang sama adalah komentar dari seorang pendengar siaran radio  secara interaktif yang kami lakukan, yang kebetulan waktu itu juga membahas soal iman dan doa. Komentar perempuan pendengar waktu itu, yang saya duga adalah seorang hamba Tuhan:”Kita harus yakin bahwa Tuhan kita tidak menginginkan kita hidup dalam keraguan dan sebagai Bapa yang baik Ia ingin memberikan yang terbaik bagi tiap anak-Nya. Jadi kita harus berdoa dengan yakin seolah apa yang kita minta sudah terjadi sebab Allah pasti akan melakukan seperti apa yang kita imani.” Kedua contoh itu menunjukkan betapa ajaran-ajaran firman tentang iman dalam Mat 7:7-11; Mat 17:20, Mat. 21:21-22, Yoh 15:7 telah dipelintir sedemikian rupa, sehingga bukan saja telah menyalahartikan apa yang sesungguhnya Tuhan ajarkan, bahkan juga telah menempatkan Tuhan sebagai budak “orang beriman”. Masuklah pemahaman egoisme ke dalam penghayatan iman demikian dan terjadilah kerancuan antara iman yang benar dengan pemompaan kapasitas dan hasrat diri sendiri (emosi, ambisi, sugesti diri)

            Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak anda mendalami apa sebenarnya iman menurut ajaran Alkitab dan butir-butir kebanaran apa saja yang harus kita perlihara secara sungguh-sungguh. Saya juga ingin menolak berbagai penghayatan yang keliru tentang iman yang harus diperlakukan sebagai iman palsu, yang sesungguhnya adalah racun mematikan. Kemudian kita akan menyelami salah satu perikop penting tentang iman untuk mengambil kebenaran iman dari dalamnya

 

Iman Sejati

 

  1. Yang mengimani dan yang diimani

Alkitab lebih banyak menggunakan kata kerja beriman, percaya, memercayakan diri-baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru-daripada kata benda “iman”. Ini menunjukkan bahwa perhatian Alkitab bukan sekedar ditujukan untuk membuat orang tahu apa iman sesungguhnya, tetapi untuk mendorong orang agar sungguh memiliki iman yang hidup kepada objek iman yang benar.

Dalam Alkitab, ada hubungan erat antara iman, aman, amin. Memang ketiga kata tersebut berasal dari akar kata yang semua dalam bahasa Ibrani sehingga ada keterkaitan pengertian antara ketiganya. Iman adalah keadaan aman orang yang memercayai Allah dalam keseluruhan sifat-sifat dan janji-janji-Nya akibat orang tersebut mengamini Allah dan kehendak-Nya ke dalam kehidupannya. Iman adalah keteguhan, kestabilan, kemantapan, baik di dalam sikap orang yang memercayakan diri kepada Allah maupun dalam dalam kekokohan kesetiaan Allah dan kebenaran janji serta sifat-sifat Allah yang menjadi objek iman. Iman sejati selalu ditujukan kepada kepastian, kekokohan sifat setia dan benar Allah, serta keteguhan janji-janji Allah. Iman sendiri bukan pencipta rasa aman atau keselamatan atau pengalaman lain yang Tuhan karuniakan. Iman hanyalah alat yang menghubungkan penerima dengan sumber keselamatan, pengudusan, dan pemeliharaan Allah. Iman dalam Alkitab ditumpukan pada kenyataan bahwa Allah adalah pencipta, pemelihara, dan penyelamat terpercaya.

            Jadi, dalam keadaan percaya atau beriman selalu tercakup sisi yang mengimani dan sisi yang diimani. Berbeda dari yang wajarnya kita simpulkan, yang terlebih dulu harus kita kenali adalah aspek objektif dari iman itu, yaitu diimani, baru menyusul aspek subjecktif dari iman, yaitu yang mengimani. Meski posisinya demikian, keduanya harus ada bersama baru dapat kita katakana bahwa ada iman sejati pada seseorang.

            Aspek objektif iman adalah dasar dari iman sejati. Iman sejati tidak bertumpu atau berpusat ada adanya kemauan kuat, dorongan perasaan, kesungguhan diri seseorang, tetapi tertuju dan bertumpu pada kesetiaan Allah (Faithfulness), kebenaran janji-janji Allah, dan kebenaran Allah seperti yang Ia ungkapkan dalam firman-Nya. Bagaimanapun kuat, sungguh, mantap iman kita namun apabila ditujukan bukan kepada tumpuan iman yang benar, tidak akan terjadi tarian hidup iman. Yang terjadi hanyalah hentakan-hentakan pemaksaan kehendak, emosi, insting religius semata yang terbelit oleh kesendirian dan kebingungan. Entah sekecil, selemah apapun iman kita, tapi jika ditujukan kepada Allah, dan kebenaran firman-Nya, maka akan terjadi langkah-langkah tarian hidup iman yang makin hari makin indah dan mesra bersama Allah. Ia yang memanggil, menyatakan diri dan kehendak-Nya, tindakan pemeliharaan dan penyelamatan Allah kepada perjanjian-Nya; semua ini adalah dasar objektif iman. Allah sendirilah-diri, sifat, janji-Nya – yang menjadi tumpuan sepanjang pertumbuhan dan perjalanan iman kita

            Apa yang kita percayai tidak boleh kita sepelekan sebab akan menentukan sikap dan kelakukan kita bahkan lebih jauh lagi pada karakter kita. Apa yang kita percayai sebenarnya menyangkut dengan siapa kita berjalan dan sedang menuju kemana kita. Karena itu tumpuan objektif iman ini selalu berhubungan dengan pengetahuan tentang Allah, sifat dan kehendak-Nya seperti yang Ia nyatakan dalam Alkitab dan yang oleh tradisi historis kekristenan disimpulkan dalam berbagai doktrin. Jadi, iman sejati adalah pemautan seluruh segi hidup seseorang kepada yang benar-benar patut untuk diimani, yaitu Allah seperti yang dapat kita ketahui sifat, janji, kehendak dan rencana-Nya dalam Alkitab dan yang kemudian diwujudkannyatakan dalam Yesus Kristus

            Aspek subjektif iman akan kita bahas dalam uraian tentang unsur-unsur iman . Yang perlu kita sadari bahwa dalam-dalam adalah kita hanya bisa beriman karena ada dasar-dasar objektif yang membuat iman dapat bertumpu. Juga perlu kita sadari bahwa aspek-aspek objektif dan subjektif dalam pembicaraan bisa kita bedakan, tetapi dalam kenyataan pertumbuhan beriman kita seluruhnya, kedua unsur itu tidak terpisahkan. Unsur-unsur objektif seperti kehendak, kesetiaan Allah, Injil penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, dan pemeliharaan-Nya, dapat menjadi kebenaran objektif karena Roh Kudus menerangkan dan menyakinkan kebenaran hal-hal tersebut dalam diri kita (subjektif). Tumpuan objektif iman Kristen bukan ide-ide yang mati tetapi Allah yang hidup dan berkarya dalam Putra-Nya Yesus Kristus yang mengundang dan memimpin kita menari iman dalam pimpinan-Nya. Iman sejati selalu ditujukan kepada Allah dan bukan kedalam kapasitas dan potensi diri sendiri. Kekeliruan dalam isi, arah dan sikap iman dapat membuat entah iman itu karam, bercacat, atau malah sama sekali palsu adanya.

 

  1. Lahir dan tumbuhnya iman

Dalam pengertian iman dan percaya adalah hubungan nyata seseorang dengan Allah, maka iman diawali bukan dari diri orang itu, tetapi dari karya penyelamatan Allah dalam diri orang tersebut. Memang dari perpektif pengalaman yang kita sadari, bertobat dan percaya mendahului pengalaman aspek-aspek keselamatan. Akan tetapi dari perspektif bahwa dosa membuat manusia mati dan tidak cukup kekuatan kemauan untuk merespons Allah, maka iman dimulai dari prakarsa-Nya. Dalam teologi reformasi paling tidak ada dua tindakan Allah dalam lingkup waktu kita, yang membuat kita mampu merespons Dia dengan iman, yaitu panggilan berdampak dan kelahiran baru.

Mengikuti tradisi Calvinisme, Harun Hadiwijono menegaskan bahwa harus datang prakarsa dari Allah sendiri agar orang bisa masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus. Prakarsa itu adalah panggilan yang tidak hanya menawarkan, tetapi juga menarik orang agar pindah dari gelap masuk ke dalam terang Kerajaan Anak-Nya (Kol 1:13). Dari manusia sendiri, tidak ada daya yang bisa membuatnya menyambut panggilan itu. Iman bukan ungkapan dari kodrat manusia sebab kodrat itu sudah rusak, cemar, dan lumpuh oleh dosa. Iman adalah hasil dari karya Allah lainnya, yang bersamaan dengan panggilan itu datang kepada orang untuk membuka hatinya atau menghidupkan dia dari keadaan mati rohani. Karya ilahi itu adalah kelahiran kembali. Kelahiran kembali adalah pembaruan dari atas, yaitu dari Roh Kudus supaya orang mampu menyambut panggilan Injil. Pandangan ini adalah kosekuensi dari menerima dua kebenaran Alkitab. Pertama, bahwa Allah jauh melampaui manusia maka Ia hanya dapat diketahui dan dikenal sejauh Ia bersedia menyatakan diri-Nya kepada kita dan memimpin kita kepada-Nya. Kedua, bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa sehingga seluruh potensi dan kapasitas kemanusiaan-Nya yang memang sudah terbatas itu malah menjadi cemar dan condong ke arah menjauhi Allah. Maka pemberitaan Injil: perintah agar orang beriman dan bertobat, serta janji bahwa di dalam Kristus orang beroleh hidup kekal, tidak boleh dikurangi, dimodifikasi dengan alasan apapun. Sebab, di dalam pewartaan dan perintah tersebutlah datangnya karya panggilan Allah yang berdampak itu terjadi dan karya pembaharuan Roh Kudus beroperasi. Tanpa itu, hanya iman palsu dan keselamatan semu belaka.

Baru sesudah prakarsa dan karya Allah ini kita alami, kita mampu beriman dan mengalami buah dari janji-janji iman yaitu; pembenaran, pertobatan, pengampunan, pengangkatan anak-anak Allah, pengudusan, dan kelak pemuliaan (Roma 8:30). Jadi, maksud para teolog yang menekankan vitalnya peran panggilan dan pembaharuan oleh Roh Kudus bukan untuk menggantikan tanggung jawab manusia untuk beriman. Iman tetap merupakan sikap, keputusan, tindakan manusia yang menjadi tanggung jawab masing-masing orang yang mendengarkan panggilan Injil untuk berespon demikian. Namun, untuk bisa bangkit beriman seperti itu diperlukan anugerah Allah yang memungkinkan kita menyambut karya dan kebenaran objektif dari Allah. Subjek yang beriman dibantu oleh Ia yang diimani melalui karya pembaruan-Nya agar mampu beriman kepada objek iman itu dengan benar. Objek iman itu tidak mati, tetapi adalah subjek yang hidup yang mampu menerobos ke dalam kebekuan diri seseorang, membangkitkan pemahaman, kesadaran dan desakan untuk merespons iman kepada-Nya. Mengapa para teolog seolah terkesan tidak konsisten atau tidak senada, di satu pihak seolah menempatkan iman mendahului regenerasi, di lain pihak seolah menempatkan regenerasi mendahului iman, merupakan pertanyaan disekitar ordo salutis (urutan aspek-aspek keselamatan). Menurut hemat saya, ordo salutis sebaiknya tidak dilihat sebagai garis lurur logis, tetapi sebagai berbagai aspek yang teralami bisa serempak bisa berbeda impresi waktunya, namun semua adalah akitab dari porosnya, yaitu karya Roh Kudus mengaplikasikan karya penebusan Kristus ke dalam hidup seseorang

 

  1. Unsur-unsur dalam iman sejati

Apabila kita menyimak beberapa pertanyaan berikut tentang apa iman menurut para tokoh gereja, kita menyaksikan ada perkembangan dalam pemahaman tentang iman itu dalam interaksi dengan pergumulan zaman yang berbeda-beda.

-          Clement dari Alexandria: “Tidak ada pengetahuan tanpa iman atau iman tanpa pengetahuan.”

-          Cyril dari Yerusalem:”Iman adalah penglihatan yang menerangi setiap sanubari dan menerbitkan pengertian.”

-          Agustinus dari Hippo:” Kita percaya agar kita mengetahui.”

-          John Calvin: “Iman adalah suatu pengetahuan yang teguh dan pasti tentang kebaikan Allah terhadap kita, yang didasari atas kebenaran janji anugerah bebas Allah dalam Kristus, yang keduanya dinyatakan ke budi kita dan dimateraikan ke hati kita oleh Roh Kudus (Ins.3.2.7)

Dari perbandingan di atas terlihat jelas bahwa pemahaman terkaya ada dalam difinisi Calvin tentang  iman. Memang memahami pergumulan para reformator tentang iman sangat bermanfaat bagi pemahaman kita kini. Seperti halnya ungkapan-ungkapan penting Alkitab yang dikutip di awal tulisan ini lahir dalam situasi kondisi yang sulit, demikian pula ungkapan terjelas terkaya tentang iman terpancar dalam tulisan-tulisan para reformator di tengah-tengah gerhana teologis yang dialami gereja waktu itu. Moto para reformator: Solafide, Sola Gratia, Sola Scriptura, Sola Christo bukan sekedar slogan kosong. Moto-moto itu sepenuhnya menyiratkan penemuan teologis para reformator akan kebenaran esensial yang sempat dibengkokkan oleh ajaran gereja waktu itu yang menyebabkan penghayatan orang tentang keselamatan menjadi kacau

Penting kita sadari bahwa pada era reformasi ada berbagai konsep iman yang ditolak reformator. Misalnya Calvin serasi dengan Luther menolak bahwa orang sudah dianggap beriman apabila menyetujui kebenaran Alkitab seperti halnya menyetujui fakta sejarah tanpa keterlibatan pribadi yang berpengaruh kepada kerohanian dan kehidupan moran orang tersebut. Untuk para reformator, tanpa adanya penerimaan iman yang hidup dari seseorang terhadap Kristus dan karya-karya-Nya maka semua karya penyelamatan Kristus itu tidak mendatangkan manfaat apa pun. Calvin juga menolak iman implisif, yaitu penerimaan terhadap keputusan kolektif gereja. Iman tidak dapat diwarisi dari atau diwariskan kepada entah dalam garis keturunan atau dalam tradisi kolektif. Harus ada hubunga timbal balik yang tidak boleh saling meniadakan antara iman individual dan iman kolektif. Gereja tidak akan menjadi gereja yang hidup apabila orang-orang di dalamnya bukan orang-orang yang hidup dalam iman. Oleh karena menekankan bahwa iman sejati harus mengetahui dengan yakin apa yang diimaninya, Calvin juga menolak perbedaan antara iman yang “terbentuk” yang sudah disempurnakan dengan ditanamkannya tindakan-tindakan kasih agar efektif bagi pembenaran dengan iman yang “belum terbentuk”. Untuk Calvin, iman sejati pasti akan mengungkapkan diri dalam pengharapan dan perbuatan kasih karena Tuhan hadir dan memerintah kehidupan orang tersebut. Alasan dari semua penolakan Calvin atas ide-ide iman yang salah tadi adalah agar orang sungguh berada dalam persatuan yang menyelamatkan dengan Kristus dan mengimani, menikmati, menghayati itu dalam segala kepenuhannya dan konsekuensinya.

Jadi, apa iman dan apa saja unsur-unsur iman? Mengacu kepada wawasan gambling dari Calvin, “Iman adalah suatu pengetahuan yang teguh dan pasti tentang kebaikan Allah terhadap kita, yang didasari atas kebenaran janji anugerah bebas dalam Kristus, yang keudanya dinyatakan ke budi kita dan dimeteraikan ke hati kita oleh Roh Kudus”. (Ins.3.2.7). Ada berbagai unsur iman dapat kita lihat dalam definisi ini. Pertama, pengetahuan (notitia). Iman bukan loncatan ke dalam kegelapan, bukan iman ke dalam iman. Iman bergantung pada apa yang telah Allah nyatakan tentang diri dan kehendak-Nya. Unsur tahu ini sangat ditekankan oleh Tuhan Yesus sendiri.”Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal (tahu) Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus”. (Yoh 17:3). “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah, tetapi Anak Tunggal Allah yang ada dipangkuan Bapa, Dialah yang menyatakanNya. (Yoh 1: 18). Istilah “menyatakan” identik dengan kata “eksegesis” yang kita pakai dalam menjelaskan dan menguraikan isi Alkitab. Yesus adalah “eksegesis” Allah, sebab di dalam hidup dan karya Yesus terbuka semua isi hati Allah untuk manusia sehingga para murid-Nya beroleh pengetahuan yang benar akan Allah. Semua yang termasuk sikap dan tindakan percaya berkaitan erat dengan pengetahuan. Jika tidak maka iman akan menjadi iman dalam iman, iman-imanan, iman nekad meloncat dalam kegelapan

Sayangnya dalam era modernisme, pengetahuan diartikan hanya secara rasionalistis dan dijadikan satu-satunya pengukur. Posisi ini jelas salah sebab kebenaran iman bersumber pada pernyataan Allah dalam Alkitab dan fungsi akal budi adalah melayani Allah dan kebenaran-Nya agar kebenaran itu terpahami dan terhayati secara jelas dan tepat. Dalam era postmodernisme bandul berbalik ke arah berlawanan. Pengetahuan disingkirkan oleh romantisme dan voluntarisme. Yang lebih dipentingkan adalah perasaan, pengalaman, dan pilihan individual diidentikkan dengan kebenaran. Kedua posisi ini  sama-sama menempatkan manusia atau aspek-aspek tertentu dari potensi dan keberadaan manusia sebagai sumber atau tumpuan iman. Allah dan kebenaran-Nya hanya ditempelkan saja sebagai pelengkap. Orang yang memiliki iman dalam kekeliruan demikian sebenarnya sedang menempatkan dirinya dan kaidah-kaidah zaman atau budaya menjadi tumpuan dan sasaran iman bukan Tuhan, kebenaran-Nya, janji-janji-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan berbagai pengungkapan-Nya

Calvin tidak menggunakan istilah cognito, tetapi notitia sebab yang dimaksudkannya meliputi unsur pengetahua akal yang mengakar dalam ke pengenalan budi. Seperti halnya hubungan seumur hidup suami-istri melibatkan unsur pengetahuan yang tepat, demikian pula iman sejati selalu melibatkan pengetahuan intim kita akan Allah yang kita peroleh dari menerima ajaran dan pemaparan Yesus Kristus melalui seluruh kehidupan-Nya. Maka maksud Calvin bukan semata pengetahuan intelektual, tetapi kesadaran hati yang mengetahui jelas akan kebenaran objek iman, yaitu Allah dan janji-janji-Nya.

Kedua, persetujuan (assesus). Seiring dengan pengetahuan akrab akan Allah adalah unsur persetujuan terhadap kebenaran yang Yesus nyatakan dan yang kelak kita temukan sepanjang proses pengenalan kita akan Dia. Pengalaman pertobatan Paulus adalah salah-satu contoh bahwa fakta Kristus sedemikian kuatnya menyakinkan dan menaklukkan dia untuk beriman kepada-Nya. Itu juga yang Petrus katakana (2 Pet.1:3) bahwa kedasyatan kemuliaan Kristus telah menjadi magnit yang menarik orang untuk beriman kepada-Nya. Karena itu B.B. Warfield berani menyimpulkan bahwa kepercayaan, iman, bukan tindakan sembarangan dari diri seseorang, tetapi keadaan dan tindakan mental yang mantap karena adanya alasan-alasan kuat. John Murray menambahkan bahwa iman adalah persetujuan yang terjadi karena desakan kuat dari fakta-fakta yang telah melalui pertimbangan akal budi secara memadai. Desakan untuk beriman bukan sesuatu yang bisa kita tunda, tetapi kita ditarik, didorong, didesak olehnya. Kita percaya kepada seseorang bukan karena kita memaksakan diri kita atau menginginkannya, tetapi karena ada fakta-fakta kuat dari orang bersangkutan bahwa ima memang terpercaya. Terhadap penipu, mau tidak mau kita tidak memercayainya; terhadap seorang berintegritas mau tidak mau kita memercayainya. Iman memang lebih dari sekedar setuju, tetapi tidak mungkin tanpa unsur persetujuan.   

Jika kita berhenti hanya pada pengetahuan (notitia) dan persetujuan (assensus), kita hanya sampai pada teologi naturalis. Karena itu masih diperlukan unsure ketiga, yaitu penyerahan diri (fiducia). Inilah inti dari iman sejati. Alkitab lebih banyak menggunakan kata kerja beriman, percaya, memercayai dari pada kata benda “iman”. Iman adalah sesuatu yang aktif mewujud dalam sikap dan tindakan memercayai Yesus Kristus dan memercayakan diri kepada-Nya. Apabila unsur ini tidak terdapat dalam diri mereka yang mengikuti Dia, Yesus menolak memercayakan diri-Nya kepada mereka yang percaya kepada-Nya hanya karena tertarik akan perbuatan mukjizat-Nya (Yoh 2:23-25). Iman tanpa penyerahan diri total kepada Yesus Kristus tidak akan membuat orang itu memiliki persekutuan dengan Kristus, dengan demikian bukan iman yang menyelamatkan. Iman sejati menerima Kristus (Yoh 1:12), tinggal di dalam Kristus (Yoh 15:1-11) dan seterusnya masuk dalam rangkulan-Nya dengan penuh penyerahan diri. Iman demikian berkonsekuensi berat, itu sebabnya Injil-injil sinoptik (Matius, Markus, Lukas) menggunakan istilah lain”mengikut Kristus”, “memikul salib”. Itu berarti menolak semua andalan lain demi satu-satunya andalan dan junjungan yang layak diimani. Iman berarti mengandalkan Kristus saja sebagai Juruslamat, menyerahkan diri kepada Kristus saja sebagai Tuhan.

Maka iman sejati yang menyelamatkan adalah pengetahuan yang kokoh dan pasti, yang dinyatakan ke dalam akal budi dan dimeteraikan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus. Seterusnya iman sejati dalam pengalaman proses pertumbuhan orang berimanpun selalu akan mengandung unsur pengetahuan kehendak Allah, persetujuan penyerahan diri kepada kehendak Allah yang spesifik. Iman tidak boleh kita definisikan sebagai sesuatu yang bersumber dan terdiri hanya dari unsure-unsur kehendak, perasaan, pengertian atau tindakan dipihak kita semata. Iman sejati selalu bersumber pada, dipimpin oleh, ditujukan kepada Allah Tritunggal dalam segala penyataan dan karya-karya-Nya. Iman sejati adalah kelanjutan dari prinsip iman yang menyelamatkan, yaitu yang diimani adalah Allah dalam segala sifat, kehendak dan kebenaran-Nya seperti yang kita dengar dan jumpai dalam Alkitab, menjadi juga Allah penyelamat, pemberi hidup, pemurni perjalanan iman kita seterusnya agar tetap terfokus dan terarah kepada Dia saja. Semua ajaran tentang iman terutama dalam kaitan dengan doa yang dijawab namun yang menekankan aspek hasrat manusianya saja akan berada dalam bahaya kesesatan fatal.

 

Aneka Iman

  1. Jenis-jenis iman

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memberi petunjuk bahwa bisa jadi ada berbagai jenis iman. Iman karena atau tertuju pada mukjizat (Yoh 2:23, Mat 7:23). Iman sebagai karunia pelayanan yang memampukan orang untuk melakukan berbagai tanda ajaib (1 Kor 13:2). Ada kemungkinan bahwa jenis-jenis iman seperti itu memang karunia dari Allah, tetapi tidak otomatis merupakan iman sejati yang menyelamatkan, meskipun iman yang menyelamatkan pun adalah karunia dari Roh juga. Dalam Alkitab kita berjumpa dengan orang-orang seperti Saul, Bileam, Yudas, yang pernah memiliki berbagai karunia iman yang menyanggupkan mereka terlibat dalam bentuk pelayanan tertentu namun sebenarnya tidak tergolong orang-orang beriman sejati. Hal ini merupakan peringatan bagi siapa saja yang sangat mementingkan untuk mencari berbagai karunia/kemampuan untuk berbuat ajaib bahwa hal tersebut tidak menjamin dirinya ada dalam hubungan iman sejati yang menyelamatkan

 

  1. Tingkat-tingkat iman

Perjanjian Baru berbicara tentang tingkat-tingkat iman. Iman kecil (Mat 6:30) dan iman besar (Mat 8:10); iman lemah dan iman kuat (Rm 4:19-20); Iman yang bertumbuh (2 Tes 1:3); iman yang tulus (2 Tim 1:5); Iman yang sehat (Tit 1:13); orang yang penuh iman (Kis 6:5); mereka yang menikmati keyakinan iman yang penuh (Ibr 10:22); Iman yang sempurna (1Kor 13:2) dan iman yang kandas (1 Tim 1:19). Kristus objek iman kita tidak berubah dulu, sekarang, dan selamanya; namun pengenalan, iman, kasih, ketaatan, dan pengalaman kita akan Dia bertumbuh dan berpengaruh pada kekuatan iman kita. Iman yang kuat dan dewasa adalah iman hasil persatuan terus menerus orang beriman dengan Kristus yang menyebabkan semua rintangan dalam diri orang bersangkutan diatasi oleh sumber-sumber melimpah dalam diri Kristus. Orang yang bertumbuh kea rah Dia makin serupa Dia, kuat bukan untuk menghakimi dan tambah melukai yang lemah, tetapi untuk menopang dan melayani yang beriman lemah (Gal 6:1-6). Hal ini mendorong semua orang beriman untuk terus maju dan bertumbuh ke arah KRISTUS, sebab di dalam hidup orang yang beriman sejati sedang berdinamika Roh Allah sumber daya yang dasyat itu membuat kita mengalami kebenaran-kebenaran Alkitab menjadi nyata dalam kehidupan kita.

 

Berbagai Iman Palsu

 

  1. Fanatisme

Fanatisme termasuk iman palsu yang paling banyak terdapat di Indonesia terutama di antara suku-suku yang dikenal sebagai suku beragama mayoritas Kristen. Fanatisme adalah sejenis sikap yang menunjukkan pengakuan dan pembelaan membabi-buta terhadap kekristenan tanpa adanya pengetahuan dan penyerahan diri yang jelas terhadap Kristus. Dalam fanatisme hanya terdapat sedikit persetujuan, tetapi bersifat subjektif dan minimalis. Orang tersebut setuju bahwa kekristenan benar meski tidak mengetahui kebenaran apa yang harus diimaninya dan juga tidak pernah menghayati sampai pada terjadinya dampak moral dan spiritual nyata dari persetujuannya.

Fanatisme bisa menghasilkan tindakan-tindakan yang tidak memberi kesaksian yang baik tentang Kristus dan iman Kristen. Beberapa kali Tuhan Yesus menegur sikap fanatisme di antara para murid-Nya. Yang paling jelas adalah Petrus yang dengan sangat fanatik tanpa mengetahui secara jelas mengklaim bahwa dirinya siap mati bersama Kristus, kemudian malah mempergunakan kekerasan untuk membela Yesus karena tidak dapat menerima bahwa Yesus harus menderita, bahkan berani menyalahi Yesus tentang pernyataan-Nya bahwa Ia harus menderita, tetapi kemudian Petrus justru menyangkal Yesus. Fanatisme lahir dari pengindentifikasikan diri dengan kelompok yang secara tradisional telah dianggap menganut kekristenan sebagai indentitas religiusnya. Konfrontasi tentang kepalsuan fanatisme adalah jalan yang dipakai Tuhan Yesus ketika Ia memperingatkan Petrus bahwa ia akan menyangkal Kristus tiga kali sebelum ayam berkokok. Kristus lalu kemudian mencari, memulihkan dan memperbaharui Petrus.

 

  1. Formalisme

Inilah musuh sangat mematikan terhadap iman sejati. Formalisme adalah sikap  menerima ajaran benar tanpa ada komitmen dan sikap merangkul, bentuk kesalehan, serta ibadah tanpa menghayati kuasa ibadah(2 Tim 3:5). Formalisme memelihara liturgy dengan hati-hati, tetapi tanpa penghayatan hati yang hancur dan tunduk kepada Allah (Am 5:21-24); memegang tradisi, tetapi tidak peka dan tunduk kepada aplikasi baru dari firman (Mat 15:6); berpegang pada iman yang ortodoks namun hampa kehadiran Roh dan keyakinan/komitmen iman yang hidup

Yang ada dalam ancaman kepalsuan iman formalistis ini terutama kepada kelompok liberal. Kelompok liberal menjalani tata ibadah, tetap memelihara tradisi penyampaian uraian isi Alkitab, namun tidak memercayai apa yang mereka jalani secara utuh antara akal budi, sikap hati, dan penghayatan hidup. Formalisme bisa juga tampak dalam formalisme liturgis, formalisme dogmatis, formalisme organisatoris. Ini mirip dengan yang ditunjukkan oleh orang Farisi dan para ahli Taurat zaman Yesus, mereka memelihara bentuk, tetapi kehilangan semangat dan roh yang seharusnya menjiwai bentuk keagamaan tersebut. Ini juga yang dialami oleh jemaat di Efesus yang bersemangat mempertahankan ajaran benar dan mendepak para bidat namun telah kehilangan kasih yang mula-mula (Why 2:2-6). Jalan keluar dari formalisme adalah pengalaman pembaruan nyata dari Kristus seperti yang dialami dalam pembaruan orang-orang seperti Pascal, Aquinas, Boenhoffer. Sesudah mereka mengalami pengalaman pemberdayaan iman, mereka menyadari bahwa pribadi Kristus yang hidup jauh melampaui kepentingan pemahaman yang kering dan mati.

 

  1. Legalisme

Legalisme bisa berwajah majemuk:

dogmatisme yang salah kaprah,yaitu klaim bahwa oran gharus memegang lebih dahul dokrin-doktrin benar sebagai kondisi untuk diselamatkan;

asketisme, yaitu upaya mencapai kesalehan melalui disiplin-disiplin kerohanian yang diartikan sebagai cara untuk mendapatkan kemurahan Allah;

rigorisme, yaitu sikap menjalani kebiasaan-kebiasaan yang kaku dan keras secara tidak lentur terhadap perjalanan dan kondisi hidup yang berubah-ubah.

Legalisme bhisa juga muncul dalam bentuk moralisme, yaitu orang pada intinya beriman pada perbuatan-perbuatan moralnya daripada mengarahkan imannya kepada hidup serta karya penyelamatan Kristus.

            Orang-orang legalis biasanya bersikap kritis berlebihan, cenderung menghakimi sesamanya, arogan dalam dogma atau spiritualitas dirinya. Sikap legalis orang Farisi dan ahli Taurat yang menganggap diri mereka benar dan merendahkan orang lain justru menjadi penghalang, mereka menerima Yesus. Yesus bukan melanggar hukum dan moral, tetapi meradikalkannya ke dalam hati melalui pembaruan dan pertobatan. Orang Kristen harus terus menerus menyadari bahwa Kristus membebaskan kita dari perhambaan dosa dan prinsip legalistis (Taurat). Kita adalah kebenaran, damai sejahtera dan sukacita dalam Roh Kudus, bukan masalah boleh atau tidak boleh makan dan minum tertentu (Rm 14:7). Injil membebaskan kita dari berbagai legalisme dan tabu religius dan moral. Kebenaran inilah yang sebenarnya ditemukan Luther dan kemudian menjadi gerakan yang menyadari bahwa salah satu prinsip penting kekristenan adalah Sola Fide. Iman yang memerdekakan justru membuat kita menaati Allah dan firman-Nya dalam kemerdekaan bukan dalam semangat perbudakan.

 

  1. Enthusiasme

Iman palsu ini mungkin sekali paling banyak dikembangkan di kalangan kelompok-kelompok spiritualis yang mengatasnamakan pengalaman Kristen, namun sebenarnya merancukannya atau mencampuradukkannya dengan pemahaman spiritualitas timur. Ethusiasme ini, antara lain menekankan ekstasi rohani, yaitu Enthusiasme ini, antara lain menekankan ekstasi rohani, yaitu pengalaman ekstra atau super rohani seseorang mengatasi dirinya menyatu ke dalam diri Allah, menjadikan pengalaman ekstra/super tersebut lebih penting daripada Alkitab, tradisi dank redo-kredp (keyakinan). Mereka mencari tanda dan pengalaman rohani khsusu, mengklaim bahwa mereka telah beroleh pengalaman, pengetahuan, dan kondisi yang membuat mereka menyelami kedalaman misteri-misteri iman. Mereka melaporkan bahwa mereka mendapatkan berbagai karunia rohani yang seba super, pernah tur ke surga, mendapatkan wahyu baru, doa selalu dikabulkan, dlsb. Mereka mengartikan iman sebagai keyakinan teguh yang memiliki kekuatan untuk mendesak atau memaksa Tuhan melakukan hal-hal yang mereka klaim (bukan mohon) kepada Allah. Mereka menafsirkan ayat-ayat janji jawab doa dengan iman teguh secara salah (Mat 7:7-8); Mrk 11:24)

Bukannya mereka menjadi pelayan Allah dan tunduk kepada-Nya, mereka justru menjadikan diri mereka ahli dalam iman dan spiritualitas sehingga mengetahui dan memiliki rahasia-rahasia Kerajaan Allah. Mereka bukan terus menerus memandang kepada kematian dan kebangkitan Kristus, tetapi berkelanjutan memfokuskan diri pada berbagai pengalaman iman mereka sendiri. Mereka tidak sadar bahwa yang mereka pahami adalah lebih menekankan aspek perasaan dan pengalaman daripada aspek pemahaman dan kebenaran firman. Hakikat kebenaran iman tidak bergantung pada pengalaman, perasaan dan pikiran manusia, tetapi pada iman yang jauh lebih luas dan lebih mendasar daripada perasaan, meski memang meliputi aspek perasaan. Dalam hal ini mereka jatuh kepada memberhalakan pengalaman, perasaan, dan berbagai wawasan spiritual lainnya. Mereka juga cenderung jatuh ke dalam arogansi spiritual. Orang yang bertumbuh dalam Tuhan bukan makin merasa lebih rohani dan lebih unggul iman, tapi makin menyadari kelemahan, ketidakberdayaan bila tanpa anugerah Allah.

Enthusiasme bisa menjerumuskan orang ke sikap antinomianisme, superspiritualis, spiritisme, okultisme, egoisme rohani. Seharusnya seperti yang disadari Luther dan Calvin, kita hanya bisa bertumbuh menuju kemuliaan jika kita terus memikul salib kita. Tidak ada teologi kemuliaan tanpa teologi salib, tidak ada spritualitas kemuliaan tanpa spiritualitas salib! Kemuliaan melalui salib adalah kemuliaan sejati karena melalui proses pemurnian dari api kebenaran ilahi. Kemuliaan yang tidak melalui jalan salib, tetapi dengan jalan hasrat ego dan khayal-khayal spiritual liar adalah hal yang tidak murni dan tidak layak di hadapan Allah.

 

  1. Passivisme (kemalasan)

Sebentuk iman palsu lainnya adalah wujud kemalasan terselubung dalam jubah rohani. Pada orang yang menghayati iman pasif ini ada kecenderungan menggunakan jargon-jargon seperti “menantikan pimpinan Tuhan”, “bergantung pada gerakan Roh Allah”, “menunggu waktu Tuhan”. Pada intinya jargon-jargon yang seolah mengutamakan Tuhan tersebut menjadi persembunyian bagi kemalasan untuk bertindak sesuai dan menaati firman Tuhan. Memang dalam iman sejati selalu ada unsur pasif, tetapi unsur pasif ini selalu membuat orang menjadi aktif. Unsur tersebut pasif karena tumpuan iman adalah penyataan diri Allah dan perwujudan kehendak-Nya dalam karya Yesus Kristus. Terhadap semua itu tidak ada satupun yang perlu kita tambahkan atau yang boleh kita tambahkan. Semuanya sudah lengkap, genap. Namun apabila iman sungguh bertumpu pada Allah dan karya-karya-Nya dalam Yesus Kristus, maka iman akan bergerak seirama dengan sisi aktifnya itu.

Akibat memiliki iman sejati kita bergerak di dalam gerak kebenaran seperti yang dimotori oleh Roh Kudus. Iman sejati membuat kita aktif melawan dosa dan sifat-sifat buruk kita dengan menghisabkannya mati bersama Kristus, membuat kita aktif dalam doa berdialog dengan firman dan kehendak Allah hingga kita menyesuaikan doa kita dengan kehendak-Nya bukan memaksa Tuhan menaati permohonan kita, melainkan mendorong kita aktif dalam disiplin-disiiplin rohani yang menunjang pertumbuhan iman. Aktif adalah tanda adanya iman yang hidup. Iman malas adalah iman pasrah yang membuat orang berlindung ke balik pimpinan Allah, waktu Allah, dlsb. demi menghindari kewajiban dan kegiatan iman yang seharusnya merupakan tanggung jawab atau ujud kongret iman dalam kehidupan kita.

Seiring dengan passivisme ini bisa juga timbul penekanan pada perasaan senang, damai tenang sebagai tanda bahwa orang ada dalam iman sejati. Memang iman sejati bisa menghasilkan berbagai perasaan seperti itu, namun perasaan bukan andalan untuk memastikan adanya iman yang benar di hadapan Tuhan. Pada dasarnya segala sesuatu yang berasal dari diri manusia seperti pikiran, perasaan, kehendak, intuisi dan imajinasi tidak dapat dijadikan dasar untuk mengukur ada tidaknya iman sebab bila demikian iman menjadi iman kepada diri sendiri. Iman selalu harus diukur berdasarkan kebenaran Allah semata.

 

  1. Faktaisme

Agak berbeda dari yang dikritik Calvin tentang orang-orang yang memercayai histories Alkitab lalu menerimanya bukan dengan komitmen, yang saya maksud dengan faktaisme di sini adalah sejenis pembenaran adanya iman karena adanya pengalaman-pengalaman tertentu. Pengalaman menjadi landasan bahwa iman seseorang benar adanya. Pengalaman itu bisa dalam berbagai bentuk tanda ajaib dan mukjizat, bisa juga dalam bentuk fakta-fakta lain dalam perasaan dan pengalaman seseorang. Orang bisa menganggap bahwa kejadian-kejadian tidak biasa yang dialami menjadi pendukung bahwa yang ia jalani dalam perjalan imannya benar adanya. Orang cenderung menjadikan fakta-fakta yang ditafsirkannya benar atau ada campur tangan ilahi sebagai dasar pembenaran bahwa dirinya ada dalam iman yang benar.

Memang iman tertuju kepada kebenaran dan kebenaran selalu bermuatan fakta. Akan tetapi, tidak semua fakta yang seseorang alami adalah kebenara, atau mengandung kebenaran, atau berasal dari Allah yang benar adanya. Banyak pengalaman mukjizat yang bersumber dari penipuan diri sendiri, sugesti diri, atau bahkan dari tipu daya iblis. Juga banyak fakta yang memang merupakan kenyataan realitas, tetapi tidak otomatis mendukung bahwa seseorang sedang dalam hubungan iman yang benar dengan Tuhan. Semua fakta harus dievaluasi dan ditimbang berdasarkan otoritas tertinggi, yaitu kebenaran firman Allah. Bahkan ketika fakta yang seseorang alami benar sekalipun, itu tidak dapat dijadikan patokan terus menerus untuk pengalaman berikutnya atau tidak cukup kokoh untuk dijadikan sumber keberimanan seseorang. Satu-satunya yang membuat iman kita aman adalah Allah dalam kesetiaan-Nya kepada kehendak dan kebenaran-Nya.

Fakta lain yang sering dijadikan dasar untuk membenarkan iman adalah fakta keberhasilan kegiatan Kristen dan Gereja. Kita cenderung berpikir bahwa kalau suatu gereja berkembang pesat, anggotanya (atau pengunjungnya?) menjadi banyak, proyek-proyeknya berlipat ganda, maka gereja tersebut pasti benar. Harus kita akui bahwa pelayanan yang benar tentu berakibat pada banyaknya kehidupan yang diberkati dan diubahkan. Akan tetapi, pelayanan, pengajaran, dan tekanan-tekanan yang salah dan bertolak belakang atau memutarbalikkan Alkitab pun bisa kelihatan berhasil dalam bentuk banyak pengikut dan peminat. Gereja-gereja yang liberal pun bisa tetap ada kegiatan sebab ditopang oleh organisasi dan system yang kuat. Gereja-gereja yang mengorbarkan spiritualitas emosional eksperiential berlebihan bukan main diminati orang seolah malahan menggeser gereja-gereja yang cenderung liberal sebab kerapihan liturgis dan organisatoris tetap tidak bisa mengisi kebutuhan terdalam manusia. Akan tetapi, fakta banyaknya pengunjung gereja bisa juga menjadi peringatan bahwa sebenarnya gereja itu sedang melacur dengan arus permintaan market alias pandai membunglon. Tuhan Yesus memberikan peringatan bahwa jalan kehidupan sempit dan sulit, jadi bila ada suatu gerakan pelayanan Kristen atau geraja yang demikian membangkitkan sambutan meluap dari mayoritas, besar kemungkinan justru sedang membuat diri menjadi pelayan selera mayoritas bukan pelayan Kristus.

 

  1. Kata-kata iman

Jenis iman palsu ini akhir-akhir ini banyak diajarkan juga dikalangan gerakan-gerakan yang cenderung menempatkan perasaan dan pengalaman di atas pemahaman yang benar akan kebenaran Alkitab. Mereka menganggap iman bukan sebagai sikap percaya dan taat seseorang kepada Allah dan kebenaran-Nya tetapi menganggap iman adalah Kuasa. Kuasa tersebut teralami dan bersifat nyata dan penuh daya. Daya iman inilah yang menjadi penyebab hokum-hukum dunia roh berfungsi. Dunia beredar karena adanya kekuatan iman ini yang berdiam di dalam keberadaan Allah. Allah tidak berdaya berbuat apa pun bagi manusia, kecuali ada iman.

Pandangan ini menganggap bahwa iman adalah sumber kuasa dalam diri Allah. Dengan kata lain Allah sendiri beriman dan daya-daya dalam diri Allah digerakkan oleh adanya iman dari pihak kita. Iman mengaktifkan Allah, takut mengaktifkan Iblis. Pengaktifan daya iman itu terjadi melalui kata-kata. Kata-kata adalah wadah bagi iman diungkapkan, diaktifkan dan dioperasikan. Jika seseorang mengucapkan kata-kata iman, ia mengaktifkan daya ke arah dampak positif. Sebaliknya bila ia menyebutkan kata-kata bukan iman, ia mengaktifkan daya ke arah negatif. Banyak rohaniawan mengajarkan salah karena penyalahtafsiran ayat-ayat  seperti Ibrani 11:1, Markus 11:23, Amsal 6:2. Cara penafsiran itu dikenal sebagai kekeliruan proof-texting atau pencomotan ayat bukti tanpa memedulikan konteks dan maksud asal istilah dalam ayat itu sesungguhnya. Bahwa pandangan ini jelas salah bahkan sesat dapat dengan sederhana kita simpulkan bila kita mempertanyakan apa beda konsep di balik kata-kata iman ini dengan mantra-mantra?

Jika para reformator mengajarkan bahwa iman sejati adalah iman yang ditundukkan kepada kebenaran dan kehendak Allah, mereka yang menganjurkan kata-kata iman mengajarkan bahwa iman adalah memperkatakan hasrat-hasrat yang orang anggap benar. Hasrat yang dianggap benar itu boleh jadi positive thinking, possibility thingking tentang apa saja (termasuk keduniawian dan nafsu liar manusia  berdosa), demi apa yang diri orang itu sendiri inginkan, yang ia anggap baik dan golongkan sebagai sesuatu yang benar. Jika para reformator melihat bahwa unsure-unsur iman adalah pengetahuan, persetujuan dan penyerahan diri, mereka menganggap unsure-unsur iman adalah memperkatakan, bertindak, menerima lalu menyampaikan kepada orang lain agar orang lain tertular oleh prinsip yang sama. Apa yang Alkitab sebut sebagai kesesatan dan mengur penganjurnya sebagai dukun dan penyesat, kini memploklamirkan diri sebagai pengajur revolusioner konsep iman berdaya dahsyat. Kesesatan okultisme dalam ajaran ini adalah anggapan bahwa di dalam diri tiap manusia ada kuasa yang siap untuk dilepaskan, bahwa kuasa dengan bantuan visualisasi yang kreatif yang kemudian diperkatakan mampu membuat hal-hal tersebut terujud menjadi kenyataan. Cukuplah kita sadari bahwa orang-orang dan ajaran-ajaran mereka, bila kita analisis secara cermat dan mendalam akan ditemukan mengambil ajaran-ajaran mistik dan okultisme yang bersumber dari roh penyesat.

 

 

 

 

 

 Penguji Kesejatian Iman

 

Iman sejati untuk mudahnya dapat kita bagi ke dalam dua kelompok. Pertama, iman tersebut mengandung kebenaran yang bersumber pada sifat hakiki ketritunggalan Allah. Oleh karena itu, iman sejati memiliki unsur-unsur berikut:

  1. Revelational: Sesuai pernyataan dari Allah Bapa
  2. Kristologi: Bertumpu pada hidup dan karya Yesus Kristus
  3. Spiritual: memiliki daya yang dihidupkan oleh Roh Kudus

Kedua, iman tersebut mengungkapkan diri dalam pola Tritunggal juga seperti yang dialami dalam kehidupan pribadi dan kebersamaan kita.

 

  1. Revelational

Iman yang benar dan sehat bersumber pada Allah yang menyatakan diri-Nya dan kehendak-Nya. Oleh karena itu, iman mengandung pemahaman yang bertumbuh tentang Allah dan kehendak-Nya seperti yang Ia nyatakan dalam Alkitab. Iman yang menyelamatkan minimal harus pernah mendengar Injil (Rm.10:9; mengaku Yesus adalah Tuhan), dan Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati; Mat 28:18-20). Iman sejati adalah iman yang aktif bertumbuh karena mengenal Allah dan kehendak-Nya melalui pergaulan akrab dengan firman-Nya. Pembacaan, perenungan, dan penghayatan seluruh isi Alkitab adalah faktor esensial pertumbuhan iman secara benar dan tepat.

 

  1. Kristologis

Iman yang benar adalah iman yang menyelamatkan karena merangkul Kristus dan segenap karya-Nya untuk berlaku bagi kehidupan kita. Di luar Kristus dan lepas dari Kristus tidak ada iman sejati menurut definisi Alkitab. Kristus harus menjadi nabi, imam dan raja atas kehidupan kita. Firman dan kehidupan-Nya harus terus menerus menjadi pemandu bagi kehidupan dan pelayanan kita. Karya penebusan-Nya menjadi sumber bagi pembenaran, pengudusan, dan pemuliaan kita. Teladan kehidupan-Nya dan keTuhanan-Nya menjadi kata akhir bagi keputusan individual, bergereja, dan bermasyarakat yang kita ambil dari detik ke detik.

 

  1. Spiritual

Iman sejati pasti membuat kita mengalami hal-hal yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam diri kita, dengan tujuan membuat Kristus makin nyata diam di dalam kita dan kita makin serasi dengan Dia dan segenap kepentingan Kerajaan-Nya. Iman sejati akan membuat kita bertumbuh ke arah kasih dan kerendahan hati seperti yang nyata dalam buah Roh dan semakin partisipatif dengan dorongan, urapan, dan perlengkapan karunia yang Roh Allah berikan agar kita kita menjadi lascar Kristus yang efektif. Iman sejati akan melahirkan buah Roh, yaitu ungkapan dari sifat dan kebenaran Allah sendiri seperti yang dioperasikan oleh Roh Allah. Oleh karena bersumber dari dan ditujukan kepada kebenaran Allah, maka iman sejati pun benar adanya dan melahirkan hal-hal yang serasi dengan kebenaran

 

  1. Komunal

Iman sejati akan membuat kita mampu membeda-bedakan apa yang benar dan salah, juga sekaligus memiliki spirit persekutuan kasih dalam kebenaran. Galatia 6:1, dst. memberi anjuran bagi mereka yang merasa diri kuat untuk saling menolong terutama terhadap mereka yang lemah, bukan untuk tambah merendahkan, melemahkan, dan melukai yang dilakukan sambil menjaga diri agar tidak tergoda untuk jatuh. Persekutuan Kristen adalah akibat dari menerima karya dan penyataan Tritunggal. Jadi, iman sejati dengan sendirinya akan memekarkan persekutuan yang Alkitabiah, yang mengutamakan Kristus dan yang bergantung kepada operasi Roh Kudus. Iman sejati tentu tidak melupakan kasih, tetapi berkembang kearah kasih. Namun demikian, iman sejati tidak mengompromikan kebenaran demi mengembangkan kasih yang semu dan rapuh. Iman, harap dan kasih bukan tiga aspek yang berjalan sendiri-sendiri, tetapi tiga sisi indah dari satu kebenaran nyata karya Allah dalam kehidupan orang beriman.

 

  1. Moral

Iman sejati akan memiliki tanda, yaitu dalam bentuk perbuatan-perbuatan iman. Iman sejati hidup bukan mati, dengan ada kegiatan, perbuatan dan tindakan sebagai buah pertobatan dan ketaatan. Orang yang imannya sejati mengalami kebenaran firman baik yang menyangkut ibadah maupun etika bukan sebagai kebenaran yang tertulis di luar diri, tetapi sebagai proses pengukiran firman dalam lubuk hati, nurani, komitmen, dan karakter terdalam. Untuk pengikut Kristus moral bertumpu pada tiga landasan: Kebenaran moral Allah, tujuan mulia Allah untuk manusia dan pembaruan Roh Kudus yang menyebabkan moralitas dari Allah tertanam dan terukir menyatu di dalam prinsip dan sanubari terdalam orang beriman

 

  1. Sosial

Iman sejati, terpancar dalam sikap dan tindakan social yang menyaksikan Kristus, bermisi dan beretoskan Kristen dalam segala seginya. Pengikut Kristus akan mengiringi Kristus dalam menjalani realitas sosialnya. Seperti halnya Kristus bersahabat, menolong dan berelasi wajar, demikian juga orang beriman. Seperti halnya Kristus berjalan dengan integritas, demikian pula pengikut-Nya memiliki integritas tanpa kompromi. Seperti halnya Kristus bersosial dan menaklukkan diri kepada Bapa yang mengakibatkan kehidupan bermisi, demikian juga kita dilayakkan dan dimungkinkan-Nya untuk menjadi garam dan terang dunia

 

 

Karakteristik Iman-Iman Palsu:

 

Karakteristik Iman Sejati

1.          Klaim-klaim khusus. Klaim bahwa seseorang beroleh urapan khusus. Klaim bahwa seseorang memiliki kuasa ilahi khusus dari Allah

2.          Otoriter. Orang yang menganjurkan iman palsu biasanya bersifat dictator dalam kepemimpinannya

3.          Ekslusivisme. Mentalitas “kami”-“mereka” dikembangkan dalam kelompok-kelompok ekstremis sempalan yang mengembangkan ajaran iman yang menyesatkan

4.          Iman condong diartikan dan dipraktikkan sebagai usaha yang mampu membujuk, menggerakkan, memaksa atau meyakinkan Tuhan mengikuti kehendak orang beriman palsu itu.

5.          Tidak ada atau tidak sedia memberikan akuntabilitas kehidupan dan ajaran

6.          Tidak terforkus kepada Allah tetapi kepada kebutuhan-kebutuhan atau hasrat-hasrat diri sendiri, kepada kekaguman orang terhadapnya, kepada keinginan untuk dihargai

7.          Iman palsu pada intinya membuat tumpuan iman yang palsu dan menunjukan imannya kepada realita yang semu

 

1.      Terfokus kepada Allah

 

2.      Bertumbuh sehingga membuat orang memiliki kehidupan teruji dan terpuji

 

3.      Memiliki keimbangan antara harga diri yang benar dan semangat merendahkan hati dan melayani

4.      Menyadari dan mengakui adanya kerentanan dalam dirinya

5.      Tidak bersikap defensive, tidak menghakimi orang lain

6.                  Berelasi wajar

 

7.      Berwawasan realitas yang benar

 

 

 

 

 

Prinsip Iman Sejati dari Kisah Abraham (Kej 22:1-19)

 

Saya memilih kisah ini untuk kita belajar dari bukti kehidupan nyata tokoh Alkitab tentang iman karena beberapa alasan. Kisah Abraham dan Ishak ini relevan sebab menyangkut kisah dari tahapan iman yang  sudah beberapa tingkat lebih maju dari tahapan ia menerima panggilan dan janji kelahiran Ishak baginya dari Allah. Kisah ini juga dapat dilihat sekaligus menampung baik perspektif Paulus maupun Yakobus tentang iman. Lebih tepatnya, perpektif iman dalam kitab Ibrani yang merangkul baik aspek pemercayaan diri kepada janji-janji Allah maupun aspek tindakan nyata merespons kehendak Allah.

            Dari kisah ini kita dapat memetik beberapa prinsip penting tentang iman sejati yang bertumbuh dan mengalami pemurnian. Pertama, firman Allah bukan saja sumber terbitnya iman, tapi juga sumber pengujian iman. Entah iman dalam tahap awalnya maupun dalam tahap kelanjutannya; entah iman dalam aspek objektifnya maupun dalam aspek subjektifnya; entah iman pada saat orang mengalami keselamatan atau pun ketika orang menjalani pendewasaan dan pemurniaan, semuanya selalu bertumpu pada firman Allah. Firman Allah tidak hanya menginformasikan apa yang harus diimani, tetapi juga menimbulkan konsekuensi untuk melepas hal-hal yang menganggu atau yang tidak layak dijadikan dasar iman. Iman sejati pasti akan diuji. Tujuan ujian adalah membuktikan sejauh mana Abraham taat “berjalan dihadapan Allah tanpa cacat” (Kej 17:1). Tujuannya adalah menjadikan iman itu bukan terfokus kepada kemampanan, tapi kepada Allah saja. Bahkan pemberian Allah yang merupakan penggenapan dari janji-janji Allah  yang teralami karena beriman pun, tidak boleh mengganjal dalam hubungan iman selanjutnya.

            Berbeda dari pasal-pasal sebelumnya (12,15,17), dalam pasal tentang pengujian iman ini Allah tidak disebut sebagai Yahwe, tetapi sebagai Allah, seolah Abraham belum mengenal dan perlu pengenalan baru (meningkat) akan Allah. Dalam kehidupan orang beriman memang ada banyak momen dan peristiwa Allah seolah jauh, asing, tidak seperti yang kita kenal sebelumnya. Tahap dan momen demikian sebenarnya bertujuan tidak hanya untuk membuat kita tidak mengandalkan apapun di sekitar Allah atau di sekitar kita dari Allah yang bukan Allah itu sendiri, tapi juga agar kita menapak maju dari pengenalan iman yang satu ke pengenalan iman yang lain akan Allah. Ujian ini bukan sandiwara dan dari perspektif Abraham, di dalam ujian ini terkandung ancaman bahwa seluruh progress imannya selama ini harus balik ke titik nol kembali. Bagi Abraham iman harus dibuktikan tidak hanya dengan kata, tapi dengan tindakan taat. Bila demikian halnya dengan bapak orang beriman, apakah ada kemewahan perkecualian untuk kita? Pasti tidak!

            Kedua, Kepekaan dan ketaatan kepada firman. Tindakan Abraham lahir bukan karena antusiasme atau heroisme, tapi karena firman Allah datang kepadanya. Ketaatan Abraham digambarkan sebagai tindakan segera: pagi-pagi benar ia bersiap-siap untuk berangkat. Derek Kidner memberikan komentar penting tentang sikap Abraham ini:”Akan aman kita bila memupuk kebiasaan bersegera menghadapi konsekuensi sulit yang muncul sebagai  konsekuensi iman, dengan ketetapan hati.” Abraham juga taat dengan penuh kesadaran-membawa segenap perbekalan yang perlu. Ia taat teguh (22-3-4). Perjalanan itu sekitar 60-75km (4 hari perjalanan) dan sepanjang hari yang berat itu ia tetap teguh. Ia taat sendiri tanpa hiburan, dukungan dari siapa pun. Ishak tentunya bukan hiburan atau dukungan, tapi justru menjadi bagian terberat dalam pergumulan imannya. Menurut Calvin, ia bahkan meninggalkan hamba-hambanya agar mereka tidak menghalanginya ketika menghujamkan belati ke badan Ishak. Hiburan sementara dari orang-orang tidak paham kebenaran dan kesejatian konsekuensi dari menyambut kehendak Allah, malah hanya akan menyimpangkan kita dari sasaran Ilahi yang Tuhan tetapkan dalam pengembaraan iman kita.

            Ketiga, ketaatan adalah bagian dari iman sejati (5). Kepada para hambanya, Abraham memberikan jawaban yang memancarkan adanya iman yang luar biasa.”Kami akan menyembah Allah dan kami akan kembali kepadamu.” Inilah komentar Ibrani 11:19, percaya Abraham kepada Allah kebangkitan. Pada waktu ia menerima janji kelahiran Ishak dari Allah, ia belajar bahwa tidak ada yang mustahil sebab Allah adalah pencipta. Selagi menjalani pergumulan ketaatan iman yang luar biasa berat, imannya bertumbuh tertuju kepada Allah saja dan lahirlah iman akan Allah kebangkitan. Begini komentar Calvin lebih lanjut:”Ketika ia menyimpulkan bahwa Allah yang ia kenal sejauh ini tidak mungkin menjadi musuhnya, meski tidak saat itu juga ia beroleh jawab yang menyingkirkan pertentangan yang sedang dialaminya, kendati demikian, oleh pengharapan, ia mempertemukan perintah Allah tersebut dengan janji-janji-Nya.; oleh sebab tanpa sedikitpun keraguan ia yakin bahwa Allah setia, maka ia menyerahkan ketidaktahuannya tentang bagaimana hal tersebut diselesaikan Allah kepada pemeliharaan Allah.” Pernyataan kepada para hambanya itu juga memperlihatkan kerendahan hati Abraham, pernyataan ketundukan autentik dari orang yang menanggung lukan konsekuensi ketaatan.

            Dalam ayat 9-10 kita seolah menyaksikan slow motion (gerakan lambat). Itulah puncak iman yang taat, dimurnikan, terfokus bukan kepada kemapanan apapun, tetapi kepada Allah semata. Ketika menjalani tanjakan berat meluluhkan hati itulah ian menanjak lebih tinggi mengalami pemurnian iman, pengenalan akan Allah yang berfaset lebih kaya dan beroleh keperkasaan iman yang bukan berasal dari kondisi-kondisi kemanusiaannya. Di dalam iman taat penuh ini, tanpa disadarinya Abraham telah menjadi baying-bayang Allah yang kelak akan mengurbankan Putra Tunggalnya sendiri. Itulah puncak kemuliaan iman sejati, dalam segala hal menyerupai kehendak dan perbuatan Allah. Tidak tersisa sedikitpun tentang pementingan diri entah berbentuk keraguan, egoisme, keserakahan, dlsb. Bukankah itu pula yang Yesus janjikan: Barang siapa taat kepada perintah-Nya, Ia dan Bapa akan datang dan diam di dalam orang itu. Iman seakrab itu dengan Allah yang membuat kehadirn dan ketuhanan Allah-bukan pemberian Allah yang berkenan dengan kepentingan diri orang beriman-hadir cemerlang memerintah penuh kehidupan (20/9/07)

      (- Penulis: Paul Hidayat)

 

Kepustakaan

 

Arterburn, Stephen & Jack Felton. Toxic Faith. Nashville:Oliver-Nelson Books, 1991

Berkhof, Louis. Systematic Theologu, new combined editing. Grand Rapids;      Eardmans:1996

Bloesch, Donald G. Faith & Its Counterfeits. Downers Grove: IVP, 1981

Boice, James Monthomery. Foundations of the Christian Faith, revised ed.

Calvin, John. Institues of Christian Religion 1, ed. John T. McNeill

    Philadelpia: The Westminster Press, 1960

Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ke -14, 2001

Hicks, Peter. Evangelicals & Truth: A Creative Proposal for A Postmodern Age. Leicester: Apollos, 1998

 

McGrath, Alister. A Passion for truth. Downers Grove: IVP, 1996

McLaren, Brian D. A New Kind of Christian. San Fransisco: A Joley Bass, 2001

Tidball, Derek. The Message of the Cross. Downers Grove: IVP, 2001

 

 

Dikutip dari Santapan Harian -  Yayasan Persekutuan Pembaca Alkitab (PPA)

Artikel Sisipan Edisi Mei – Juni; Juli-Agustus, September-Oktober, November-Desember 2006

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar: