Arsip Blog

Senin, 05 Maret 2012

Kisah-kisah Inspiratif


Piano Merah Mahoni

Lukas 18:4-7
"Beberapa waktu lamanya hakim itu tidak mau menolong janda itu. Tetapi akhirnya hakim itu berpikir, 'Meskipun saya tidak takut kepada Allah dan tidak peduli kepada siapa pun,
tetapi karena janda ini terus saja mengganggu saya, lebih baik saya membela perkaranya. Kalau tidak, ia akan terus-menerus datang dan menyusahkan saya.' "
Lalu Tuhan berkata, "Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh hakim yang tidak adil itu!
Nah, apakah Allah tidak akan membela perkara umat-Nya sendiri yang berseru kepada-Nya siang dan malam? Apakah Ia akan mengulur-ulur waktu untuk menolong mereka?"


 Bertahun-tahun yang lalu ketika aku masih berusia dua puluhan, aku bekerja sebagai seorang salesman untuk perusahaan piano St. Louis. Kami menjual piano ke seluruh negara bagian dengan cara mengiklankan di koran-koran setempat. Jika kami sudah mendapatkan banyak pesanan, maka kami akan mengirimkan piano-piano dengan truk.

Setiap kali kami memasang iklan di daerah perkebunan kapas di Missouri tenggara, maka kami akan menerima tanggapan di atas kartu pos dari seorang wanita tua yang menulis, “Tolong kirimkan sebuah piano baru untuk cucu perempuanku. Warnanya harus merah mahoni. Aku sanggup membayar sepuluh dollar per bulan dari hasil penjualan telur.”

Tentu saja kami tidak dapat menjual sebuah piano baru dengan cicilan sepuluh dollar setiap bulan. Tidak ada bank yang mau menangani pembayaran cicilan sekecil itu, jadi kami abaikan saja kartu pos itu.

Pada suatu hari aku kebetulan berada di daerah itu untuk memenuhi permintaan beberapa pembeli, dan karena keingin-tahuanku, maka aku memutuskan untuk mengunjungi wanita tua penulis kartu pos itu. Aku sudah membayangkan apa yang akan aku temui. Wanita tua itu tinggal di sebuah gubug kecil sebagaimana lazimnya petani yang berbagi hasil di tengah perkebunan kapas.

Gubugnya berlantai tanah dan banyak ayam berkeliaran di dalam gubuk itu. Tentu saja ia tidak memiliki mobil, telpon, atau pekerjaan tetap. Ia tidak memiliki apa-apa kecuali atap di atas kepalanya. Atapnyapun tidak begitu baik karena aku dapat melihat langit biru dari dalam. Cucu perempuannya kira-kira berusia sepuluh tahun, bertelanjang kaki dan memakai baju dari bekas karung terigu.

Aku menerangkan kepada wanita tua ini bahwa perusahaan kami tidak dapat menjual piano dengan cicilan sepuluh dollar sebulan dan aku mohon kepadanya untuk tidak mengirimkan kartu pos sebagai tanggapan atas iklan kami. Aku meninggalkan gubuk mereka dengan hati yang hancur.

Keteranganku tidak ada gunanya karena ia tetap saja menulis kartu pos permintaannya. Kartu pos dengan permintaan yang sama datang setiap enam minggu. Permintaannyapun sama, sebuah permohonan memelas untuk sebuah piano merah mahoni disertai janji dan sumpah bahwa ia tidak akan membayar terlambat cicilannya. Memang amat menyedihkan.

Beberapa tahun kemudian aku akhirnya memiliki perusahaan piano sendiri dan ketika aku memasang iklan di daerah itu, kartu pos dengan isi yang sama mulai berdatangan. Berbulan-bulan lamanya aku abaikan. Apa yang dapat aku lakukan?

Tetapi pada suatu hari ketika aku berada di daerah itu, ada sesuatu yang menggerakkan hatiku. Aku membawa sebuah piano merah mahoni di atas truk. Meskipun tahu bahwa aku akan membuat keputusan bisnis yang keliru, aku mengantar piano tersebut ke gubuk wanita tua itu. Aku tidak mengikut-sertakan bank. Aku sendiri yang menanda-tangani kontrak senilai sepuluh dollar sebulan tanpa bunga dan itu berarti lima puluh dua kali pembayaran.

Aku menurunkan piano dan memasukkannya ke dalam gubuk dan memilih tempat yang kelihatannya tidak akan kebocoran. Aku mengingatkan nenek serta cucunya agar tidak membiarkan ayam bermain dekat piano. Ketika beranjak pergi, aku merasa yakin telah membuang sebuah piano baru.

Tetapi memang pembayaran datang tepat waktu, lima puluh dua bulan, tepat seperti yang ia janjikan. Kadang-kadang ia membayar dengan uang logam yang ditempel pada sebuah karton tebal di dalam amplop. Menakjubkan memang. Aku telah melupakan hal itu selama dua puluh tahun.

Pada suatu hari aku berada di Memphis dalam rangka bisnis dan sesudah makan malam di sebuah hotel mewah, aku duduk di sofa sambil minum. Di kejauhan aku mendengar alunan suara piano yang amat indah. Aku mencari-cari dan terlihat seorang wanita muda yang cantik sedang bermain di sebuah grand piano.

Karena aku juga seorang pemain piano, aku dapat mengenali permainan seseorang yang amat mahir. Aku pindah mendekati si pemain piano agar bisa mendengar dan melihat. Ia tersenyum kepadaku dan bertanya adakah lagu yang aku ingin ia mainkan?

Ketika beristirahat ia menghampiriku dan duduk di mejaku.

“Apakah anda pria yang menjual piano kepada nenekku bertahun-tahun yang lalu?”

Aku tidak menyadari kata-katanya, jadi aku memintanya menerangkan apa yang ia maksudkan. Ia mulai bercerita dan aku tiba-tiba ingat. Oh! Ia adalah gadis yang tidak beralas kaki serta memakai baju dari bekas karung terigu itu.

Ia mengatakan bahwa namanya Elise dan karena dulu neneknya tidak mampu membayar seorang guru piano, maka ia belajar bermain piano dengan cara mendengarkan radio. Ia juga mengatakan bahwa mula-mula ia bermain di tempat kebaktian yang harus mereka capai dengan berjalan kaki sejauh tiga kilometer.

kemudian ia bermain di sekolah dan memenangkan banyak perlombaan bermain piano, dan kemudian menerima beasiswa. Ia juga bercerita bahwa ia sudah menikah dengan seorang pengacara yang telah membelikannya sebuah grand piano yang sangat indah.

Kemudian aku bertanya,

“Elise, apa warna piano itu?”

“Merah mahoni,” jawabnya.

Apakah ia tahu pentingnya warna merah mahoni itu? Keberanian dan ketekunan dari neneknya untuk mengharapkan sebuah piano berwarna merah mahoni ketika tidak ada orang yang mau menjual piano kepadanya. Juga keberhasilan yang bukan main dari gadis kecil yang tidak beralas kaki dan hanya memakai baju dari bekas karung terigu.

Mungkin Elise tidak tahu semuanya ini, namun aku amat tahu. Ini semua hanya dapat terjadi karena kasih seorang nenek terhadap cucunya…
www.facebook.com/notes/flora-flowera/sebuah-piano-merah-mahoni/395121063846856




BERHENTI MEMBERIKAN ALASAN

Adalah benar bahwa kita tak bisa menjadi segala sesuatu. Namun dalam hidup ini kita harus menjadi sesuatu. Ketika aku masih muda, ada begitu banyak kemungkin pilihan yang nampaknya tak terbatas berjejer di hadapanku, menunggu untuk aku pilih. Di saat itu aku harus memilih untuk menjadi sesuatu. Namun satu pertanyaan muncul ketika aku akan membuat pilihanku; Arah manakah akan kubiarkan hidupku mengalir? Dari semua kemungkinan yang ada, manakah yang harus aku pilih? Menjadi bintang olah raga? Mengembangkan hobby? Membangun karier dan natinya menjadi hartawan? Aku yakin, tak satupun dari yang aku sebut di atas akan memberikan aku kepuasan mutlak dalam hidup yang singkat ini.

Aku membuat pilihan setiap hari. Dan bila saat ini aku memejamkan mata, mencoba melihat kembali setiap keputusan yang telah kubuat setiap hari, bisa dengan amat mudah aku lihat bahwa aku sering membuat keputusan secara spontan, terutama bila harus berhadapan dengan hal kecil dan kurang serius. Namun kisahku akan menjadi lain, ketika aku harus berhadapan dengan sesuatu yang serius yang amat mempengaruhi seluruh arah perjalanan hidupku di masa depan. Aku tak akan membuat keputusan spontan. Aku yakin andapun akan berbuat hal yang sama. Dan dalam membuat pertimbangan itu, aku dan juga anda, akan mendekati masyalah tersebut dengan menimbang berbagai nilai positif maupun negatifnya. Anehnya, kadang alas an-alasan negatif muncul secara amat dominan. Takut membuat keputusan karena takut menerima resiko. Takut memilih karena tak tahu apa yang akan terjadi kelak.

Aku teringat banyak orang yang dengan berbagai alasan menolak ajakan Yesus. “Aku telah membeli ladang dan aku harus pergi melihatnya; aku minta dimaafkan. Aku telah membeli lima pasang lembu kebiri dan aku harus pergi mencobanya; aku minta dimaafkan. Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang.” (Lukas 14:18-20). Dalam bagian Injil yang lain masih bias ditemukan alas an yang lain: "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku¡K¡K Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku." (Luk 9:59.61)

Mengapa aku dan mungkun juga anda sering memberikan sekian banyak alasan terutama dalam menjawabi panggilan Tuhan, dalam menentukan arah perjalanan anda di masa yang akan datang? Mungkin kita merasa diri tak layak. Merasa diri banyak kekurangan. Merasa diri penuh dililit dosa. Namun pernahkah anda tahu bahwa sekian banyak nama besar yang pernah muncul dalam sejarah keselamatan umat manusia juga sama seperti diri anda dan aku? Mereka bukanlah makluk istimewa yang karenanya layak mendapat hadiah panggilan Allah.

Bayangkan sendiri orang-orang berikut ini; Abraham adalah seorang yang tua bangka yang sudah tak bertenaga lagi. Jakub adalah seorang yang merasa diri tak aman karena itu harus menjelma menjadi saudaranya Esau. Leah adalah seorang yang tak menarik. Moses adalah seorang yang tak mampu berbicara lancar karena itu membutuhkan sudaranya Aaron. Gideon adalh seorang miskin. Rahab adalah seorang yang amoral. Daud mengambil isteri orang dan terlibat dalam begitu banyak masyalah kehidupan berkeluarga. Jeremiah hidup dalam situasi tertekan. Junus adalah seorang yang ragu-ragu dan takut menuju Niniveh. Naomi adalah seorang janda. Petrus adalah orang yang gegabah dan cepat naik pitam. Martha adalah seorang yang selalu dirundung rasa cemas. Zakeus adalah seorang yang pendek dan pemungut cukai. Thomas adalah seorang yang kurang iman. Dan Paulus adalah pembunuh. Sedangkan Timotius adalah seorang penakut.

Mereka semua memiliki keterbatasan tersendiri. Mereka bukanlah orang yang sempurna. Mereka sama seperti aku dan anda, namun mereka tak menjadikan semua kekurangan yang mereka miliki sebagai alasan untuk tak menerima panggilan Tuhan. Tuhan memilih dan mereka dan membutuhkan mereka justru dalam keterbatasan mereka. Saudaraku, Tuhan juga pasti membutuhkan kita, membutuhkan engkau dan aku. Namun kita harus berhenti memberikan alasan.

Tarsis Sigho - Taipei
Email: sighotarsi@yahoo.com


Kasih Seorang Anak Kecil

Sekitar tahun lalu, saya melayani seorang anak kecil berumur 5 tahun untuk mengisi libur musim panas sebagai Babysitter. Dan masa itu adalah pekerjaan musim panas yang paling berkesan!

Maddie dan saya selalu berjalan jalan di taman setiap hari setelah makan siang. Maddie suka bermain ayunan dan perosotan di taman itu.

Walaupun masih kecil, Maddie mempunyai hati yang baik, dan dia selalu membuat saya terkejut pada kasihya terhadap orang lain.

Kedua orang tuanya pun juga sama - Selalu ada damai sejahtera diantara mereka. Saya selalu bertanya, mengapa mereka sangat berbeda dari orang orang lain?

Suatu hari di taman itu, saya sedang mendorong Maddie yang bermain ayunan, dan kami mendengar banyak anak anak kecil tertawa. Kami melihat ada sekelompok anak anak yang berkumpul di sebuah tempat di taman itu.

Maddie menyetop ayunannya, dan ingin pergi kesana untuk melihat apa yang sedang mereka tertawakan. Kami berjalan, dan seorang anak laki-laki lari menuju Maddie dan mengatakan, "Ayo ke sini dan lihat orang perempuan aneh ini! Ia kotor dan berbau, menangis lagi!" Maddie mendorong anak laki laki itu, dan menuju ke seorang wanita yang sedang duduk di tanah.

Wanita itu kelihatannya berumur sekitar 50 tahun, walaupun kemungkinan umurnya lebih muda. Karena terlihat kehidupannya sangat susah, dan anak laki-laki itu benar, orang itu berbau dan kotor. Suatu hal yang akan ku pikir akan kulakukan adalah memegang Maddie dan menyingkirkannya dari orang itu.

Ketika saya mencarinya, ternyata Maddie sudah duduk di samping wanita itu, dan memegang tangan orang itu. Orang itu melihat kepada Maddie dan tersenyum. Untuk beberapa detik lamanya orang itu rasanya tidak lagi berbau dan kotor, dia cantik!! Anak-anak yang lain akhirnya meninggalkan orang itu, dan Maddie memeluk orang itu, lalu Maddie meninggalkannya.

Di sepanjang jalan, Maddie menggumamkan sebuah nyanyian, dan berlompat-lompat kecil, sesuai kebiasaannya. Ia gembira, sepertinya tidak memikirkan kesusahan. Saya menunggu Maddie mengatakan sesuatu tentang wanita itu, tetapi ia tidak mengatakan sepatah katapun. Akhirnya ketika sampai di rumah, saya tidak tahan lagi.

Saya menghampiri Maddie dan berkata, "Mengapa kamu lakukan itu?"

Maddie bertanya balik, "Melakukan apa Julie?"

dan saya jawab, "Mengapa kamu memegang tangan dan memeluk orang itu sedangkan anak anak lain menertawainya dan menakut-nakutinya?"

Maddie menatap saya dan berkata, "Julie, Yesus tidak akan memperlakukan wanita itu seperti itu. Setiap orang menertawakan dan memperlakukan Yesus seperti apa yang mereka perbuat, tapi apa yang Yesus telah perbuat! Dia sudah mati untuk kita di kayu salib. Setiap kali saya melihat seseorang dipermalukan seperti itu, saya selalu pergi menemuinya, memeluk mereka, dan mengatakan bahwa Yesus mencintai mereka, hal itu selalu membuat mereka merasa menjadi lebih baik."

Saya yang berumur 23 tahun, seharusnya lebih pintar! Tetapi anak berumur 5 tahun ini mengetahui lebih banyak daripada saya. Dan itulah Maddie! Yesus, datang ke dunia yang kotor dan dingin ini, ditertawakan, diludahi, tetapi Dia mati untuk kita.

Saya berubah mulai hari itu, dunia terlihat berbeda, dan hal itu dikarenakan seorang anak perempuan kecil berumur 5 tahun yang telah memperlihatkan apa arti sebenarnya Kasih.


SIPUT & KATAK 

Ada seekor siput selalu memandang sinis terhadap katak. 

Suatu hari, katak yang kehilangan kesabaran akhirnya berkata kepada siput: "Tuan siput, apakah saya telah melakukan kesalahan, sehingga Anda begitu membenci saya?"

Siput menjawab: "Kalian kaum katak mempunyai empat kaki dan bisa melompat ke sana ke mari, Tapi saya mesti membawa cangkang yang berat ini, merangkak di tanah, jadi saya merasa sangat sedih."

Katak menjawab: "Setiap kehidupan memiliki penderitaannya masing-masing, hanya saja kamu cuma melihat kegembiraan saya, tetapi kamu tidak melihat penderitaan kami."

Dan seketika, ada seekor elang besar yang terbang ke arah mereka, siput dengan cepat memasukan badannya ke dalam cangkang, sedangkan katak dimangsa oleh elang...

Akhirnya siput baru sadar...ternyata cangkang yang di milikinya bukan merupakan suatu beban...tetapi adalah kelebihannya...

Nikmatilah kehidupanmu, tidak perlu dibandingkan dengan orang lain. Keirian hati kita terhadap orang lain akan membawa lebih banyak penderitaan...
Lebih baik pikirkanlah apa yang kita miliki,hal tersebut akan membawakan lebih banyak rasa syukur dan kebahagiaan bagi kita sendiri.



Membersihkanmu


Seorang laki-laki tua tinggal di sebuah perkebunan/area di sebelah timur Pegunungan Kentucky bersama cucu laki-lakinya. Setiap pagi Sang kakek bangun pagi dan duduk dekat perapian membaca Alkitab.
Sang cucu ingin menjadi seperti kakeknya dan mencoba menirunya seperti yang disaksikannya setiap hari.
Suatu hari ia bertanya pada kakeknya : “ Kakek, aku coba membaca Al-kitab sepertimu tapi aku tak bisa memahaminya, dan walaupun ada sedikit yang aku pahami segera aku lupa begitu aku selesai membaca dan menutupnya. Jadi apa gunanya membaca Allitab jika tak memahami maknanya ?
Sang kakek dengan tenang sambil meletakkan batu-batu di perapian, memjawab pertanyaan sang cucu : “Cobalah ambil sebuah keranjang batu ini dan bawa ke sungai, dan bawakan aku kembali dengan sekeranjang air.”
Anak itu mengerjakan seperti yang diperintahkan kakeknya, tetapi semua air yang dibawa habis sebelum dia sampai di rumah. Kakeknya tertawa dan berkata, “Kamu harus berusaha lebih cepat lain kali “.
Kakek itu meminta cucunya untuk kembali ke sungai bersama keranjangnya untuk mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum sampai di rumah.
Dengan terengah-engah dia mengatakan kepada kakeknya, tidak mungkin membawa sekeranjang air dan dia pergi untuk mencari sebuah ember untuk mengganti keranjangnya.
Kakeknya mengatakan : ”Aku tidak ingin seember air, aku ingin sekeranjang air. Kamu harus mencoba lagi lebih keras. ” dan dia pergi ke luar untuk menyaksikan cucunya mencoba lagi.
Pada saat itu, anak itu tahu bahwa hal ini tidak mungkin, tapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin, air tetap akan habis sebelum sampai di rumah.
Anak itu kembali mengambil / mencelupkan keranjangnya ke sungai dan kemudian berusaha berlari secepat mungkin, tapi ketika sampai di depan kakeknya, keranjang itu kosong lagi. Dengan terengah-engah, ia berkata : ”Kakek, ini tidak ada gunanya. Sia-sia saja”.
Sang kakek menjawab : ”Nak, mengapa kamu berpikir ini tak ada gunanya?. Coba lihat dan perhatikan baik-baik keranjang itu .”
Anak itu memperhatikan keranjangnya dan baru ia menyadari bahwa keranjangnya nampak sangat berbeda. Keranjang itu telah berubah dari sebuah keranjang batu yang kotor, dan sekarang menjadi sebuah keranjang yang bersih, luar dan dalam.
” Cucuku, apa yang terjadi ketika kamu membaca Alkitab ? Boleh jadi kamu tidak mengerti ataupun tak memahami sama sekali, tapi ketika kamu membacanya, tanpa kamu menyadari kamu akan berubah, luar dan dalam



PEWARIS KERAJAAN
Hanya kami saja yang membawa anak di restoran itu. Aku mendudukkan Erik di kursi khusus untuk anak dan mulai memperhatikan orang-orang yang dengan tenang makan sambil berbincang-bincang. Tiba-tiba Erik memekik gembira dan berteriak "Halo!".

Dia menepuk-nepukkan tangan mungilnya yang montok ke nampan di kursinya. Matanya membelalak gembira dan ia tersenyum lebar memperlihatkan mulutnya yang masih belum bergigi. Dia terus tertawa-tawa kesenangan. Aku melihat ke sekeliling dan segera menemukan sumber kegembiraannya. Ada seorang pria dengan jas yang compang-camping, kotor, berminyak, dan usang. Dia memakai celana baggy dengan resleting yang setengah terbuka dan jempol kakinya menyembul dari sepatunya yang sudah hampir hancur. Bajunya kotor dan rambutnya juga kotor tidak disisir.
Cambangnya terlalu pendek untuk bisa disebut sebagai jenggot, dan hidungnya penuh guratan sehingga tampak seperti peta jalanan.

Kami duduk cukup jauh sehingga tidak mencium baunya, tapi aku yakin dia pasti bau sekali. Dia melambaikan dan menggoyang-goyangkan tangannya.
"Halo, sayang. Halo anak pintar. Ciluuuuk ... ba!", dia berkata pada Erik.
Suamiku dan aku saling berpandangan, "Apa yang harus kami lakukan?" Erik terus tertawa dan menjawab "Halo, Halo." Semua orang di restoran memandangi kami dan pria itu. Orang tua yang aneh sedang mengganggu bayi manisku.

Makanan kami datang dan pria itu mulai berteriak dari seberang ruangan.
"Kamu tahu kue pastel? Kamu bisa cilukba? Hei, dia bisa ciluk ba." Tak ada seorangpun yang menganggap pria itu lucu. Menurutku dia pasti mabuk.
Suamiku dan aku sangat malu. Kami makan dengan diam, kecuali si Erik, yang mulai menyanyikan semua lagu yang dikenalnya untuk si gembel yang mengaguminya, yang memberikan komentar yang lucu-lucu.

Akhirnya kami selesai makan dan beranjak pulang. Suamiku membayar ke kasir dan menyuruhku menunggu di tempat parkir. Pria tua itu duduk di antara kami dan pintu keluar. "Tuhan, biarkan aku keluar dari sini sebelum dia sempat berbicara dengan aku atau Erik." doaku. Saat mendekati pria itu, aku berjalan menyamping untuk menghindari baunya. Saat aku melakukan itu, Erik menyandar pada lenganku dan pria gembel itu merentangkan kedua tangannya kepada Erik menawarkan untuk menggendong. Sebelum aku sempat menghentikannya, Erik sudah meronta dari tanganku dan menuju tangan pria itu.

Tiba-tiba, pria tua yang sangat bau dan seorang bayi yang masih kecil mewujudkan rasa sayang mereka. Erik, dengan penuh kepercayaan, sayang, dan pasrah merebahkan kepala nya yang mungil ke atas pundak pria itu. Mata pria itu terpejam dan aku bisa melihat air mata menggenang di bawah bulu matanya.
Tangan tuanya yang kotor dan penuh tanda-tanda kepenatan karena terlalu sering dipakai untuk bekerja keras, dengan lembut, sangat lembut menimang bayiku dan mengelus punggungnya. Belum pernah aku lihat ada dua insan yang dapat menyayangi dengan begitu dalam hanya dalam waktu sesingkat itu.

Aku terpaku. Pria tua itu menggoyang dan menimang Erik di pelukannya selama beberapa saat, dan kemudian matanya terbuka dan memandangku dalam-dalam. Dia berkata dengan tegas, "Jaga bayi ini dengan baik."
Kerongkonganku bagai tersumbat batu. Entah bagaimana caranya, aku berhasil menjawab, "Baik". Dia menjauhkan Erik dari dadanya, dengan tak rela, dan berlama-lama, seolah merasakan nyeri yang mendalam. Aku menerima bayiku dan kemudian pria itu berkata, "Tuhan memberkati anda, Nyonya. Anda telah memberi hadiah Natal terindah dalam hidup saya." kemudian dia perlahan pergi sambil tertunduk namun aku dapat melihat dia mengusap air matanya.

Aku tidak dapat berkata apapun kecuali mengucapkan kepadanya, "Terima kasih!" Dengan memeluk Erik, aku berlari ke mobil.

Suamiku bertanya kenapa aku menangis sambil memeluk Erik dengan eratnya, dan berkomat-kamit, "Ya Tuhan, Tuhanku, ampunilah aku." Aku baru saja menyaksikan kasih Yesus terpancar melalui kepolosan seorang anak kecil yang tidak memandang dosa, tidak menghakimi; seorang anak yang memandang hati, dan seorang ibu yang hanya melihat penampilan luar saja. Aku adalah seorang Kristen yang buta, memeluk seorang anak kecil yang dapat melihat.

Pak tua itu, tanpa disengaja, telah mengingatkanku "Untuk dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah, kita harus menjadi seperti anak-anak."
____________________

"(2) Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka (3) lalu berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (4) Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga." (Matius 18:2-4)

Tidak ada komentar: