The Wrath of God
(Murka Allah)
Di zaman kita sekarang, banyak sekali gereja tidak lagi membahas topik the
wrath of God bahkan sudah menjadikannya tabu dan orang-orang Kristen pada
umumnya telah menerima tabu itu dan mengkondisikan diri mereka untuk tidak
pernah mengangkat persoalan itu. A.W.
Pink dalam bukunya The Atrributes of God mengatakan: “Suatu penyelidikan di
konkordansi Alkitab akan menunjukkan bahwa ada lebih banyak referensi tentang
kemarahan, kegeraman dan murka Allah dari pada kasih dan kelembutan-Nya”.
Di dalam Alkitab ada beberapa peringatan Tuhan kepada kita tentang the
wrath of God yang benar- benar nyata:
1.
Nadab
dan Abihu (Imamat 10:1-2)
2.
Akhan (Yosua 7:1, 19-25)
3.
Uza (II
Samuel 6:6)
4.
Ananias
dan Safira ( Kis 10:1-2)
Puncaknya
adalah kematian Kristus di atas kayu salib. Dibandingkan dengan empat contoh di
atas yang mana mereka semua langsung meninggal, tetapi Yesus mengalami;
-
Penyiksaan
yang sadis dan mengerikan secara fisik sampai mati.
-
Pelecehan
dengan ditelanjangi, ditampar dan diludahi dimuka umum. Ini adalah suatu
penghinaan secara emosional .
-
Murka
Allah (the wrath of God) dan ditinggalkan oleh Allah. Inilah yang paling berat
karena Yesus memikul sengsara secara spiritual.
Ini
semua dilakukan Yesus demi untuk menyelamatkan kita yang percaya dari murka
yang akan datang (I Tesalonika 1:10).
Di Amerika, ada satu perbuatan
besar yang bisa dihukum mati yaitu penghianatan (treason) terhadap pemerintah
Amerika. Tetapi di hadapan Allah, dosa sekecil apapun adalah penghianatan besar
terhadap kekudusan Allah. Murka Allah mengalir dari kekudusan-Nya. Kekudusan
seumpama terang yang tidak mungkin berdampingan dengan kegelapan sekecil
apapun.
Sebelum kita membahas lebih
lanjut topik the wrath of God, kita harus mengerti dahulu tentang The
Simplicity of God.
The
simplicity of God tidak berbicara mengenai begitu mudahnya Allah itu. Tetapi
konsep ini berbicara tentang Allah adalah Allah yang berbeda dari semua
ciptaan. Dalam hal ini, keberadaan-Nya adalah semata-mata simple dan tidak
complex atau terdiri dari campuran. Kita diciptakan dari pelbagai
bagian-bagian. Kita mempunyai organ-organ yang berbeda-beda, bermacam-macam
aspek dari keberdaan kita sebagai mahluk ciptaan, tetapi tidak ada
bagian-bagian pada Allah. Allah tidak terdiri dari sekian persen kekudusan dan
sekian persen keabadian, tetapi Allah adalah seluruh sifat-sifat-Nya. Kita
tidak boleh mengambil satu sifat Allah dan mengadu dombakannya dengan sifat
Allah yang lain. Itu sebabnya kita tidak hanya mau memahami kasih Allah saja,
tetapi juga murka Allah dan sifat-sifat yang lain. Alkitab mengatakan kepada
kita bahwa the wrath of God adalah salah satu sifat Allah.
Kepustakaan (sumber):
1.
Knowing God in Preaching by J. I. Packer
2.
The Wrath of God in Preaching by R.C.
Sproul
3.
The Holiness of God in Preaching by R. C.
Sproul
The Empty Cup
Cawan yang Kosong
Matius
26:39
Yohanes
18:11
Apakah cawan itu?
Kita
biasanya menghubungkan cawan Yesus dengan penyaliban-Nya. Ada kebenaran dalam asumsi itu, dan tentu
saja cawan itu berhubungan dengan penyaliban. Tetapi kita masih belum menjawab
pertanyaan tentang apakah cawan itu.
Di dalam kedua Perjanjian Alam
dan Baru, cawan Tuhan menunjuk pada penghakiman-Nya;
-
Mazmur
75:9
-
Habakuk
2:16
-
Yeremia
25:15
-
Yesaya
51:17,22
-
Wahyu
14:9-10
Jadi kita
melihat bahwa cawan itu adalah suatu ungkapan metafor yang menunjuk pada
penghakiman Allah seperti diungkapkan dalam penuangan kemarahan-Nya pada
bangsa-bangsa dan orang-orang yang berdosa.
The Wrath
of God
Ini membawa kita pada suatu aspek pokok pembahasan yang sulit dari Alkitab,
atas hal itu paling buruk ditolak oleh beberapa sarjana dan paling banter
dilalaikan oleh sebagian terbesar orang-orang percaya: The Wrath of God
(Kemarahan Allah)
Alasan utama yang lebih banyak kita menghindarkan atau melalaikan ide dari
kemarahan Allah adalah bahwa kita benar-benar tidak berpikir tentang
keberdosaan kita yang memerlukan tingkat penghakiman yang dimaksudkan oleh
angkatan itu. Terus terang, sebagian terbesar dari orang-orang tidak berpikir
bahwa mereka adalah seburuk itu. Barangkali alasan lain dimana kita menghindari
persoalan itu adalah kita tidak mau berpikir tentang kebaikan dan kepatutan
kita, tetapi menganggap sesama kita dan saudara-saudara yang tidak percaya yang
menjadi sasaran murka Allah. Kemudian tanpa disadari, kita memakai the head-in
–the sand philosophy (menolak menghadapi sesuatu dengan berpura-pura tidak
memperhatikannya) atau dengan kata lain jika kita mengabaikan sesuatu, itu akan
benar-benar pergi.
Akan tetapi Alkitab tidak memberikan kita pilihan itu. Berkali-kali Alkitab menegaskan bahwa the wrath of God
diungkapkan baik dalam penghakiman yang sementara maupun yang kekal. Leon
Morris mengatkan: “Dalam Pernjanjian Lama ada lebih dari 20 kata digunakan
tentang the wrath of God,“ dan ”Jumlah total dari hal yang berhubungan
dengan murka Allah (dalam Pernjanjian
Lama) melebihi 580.”
Bagaimana dengan Perjanjian Baru? Disini sekali lagi banyak orang suka
berpikir bahwa walaupun the wrath of God adalah suatu kenyataan di dalam masa
Perjanjian Lama, hal itu hilang dalam pengajaran Yesus, dan kasih dan
rahmat-Nya menjadi satu-satunya ungkapan tentang sikap Allah terhadap
ciptaan-ciptaan-Nya. Yesus dengan jelas menolak pikiran itu.
“Barangsiapa percaya kepada Anak, ia
beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak
akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada diatasnya. “ (Yoh 3:36)
Lebih
panjang dari pada penggunaan-Nya atas kata kemarahan adalah
referensi-referensin-Nya yang berkali-kali tentang neraka sebagai ungkapan
terakhir, dan kekal dari murka Allah.
-
Matiur
5:22 ; 18:9)
-
Markus
9: 47
-
Lukas
12:5
Surat-surat
Paulus
-
Roma
1: 18
-
Efesus
2: 3
-
Kolose
3:16
Terakhir
-
Wahyu
6: 16-17; 14:10; 16:19; 19:15
Tetapi bila kita mungkin bertanya, mengapa Allah begitu marah terhadap
dosa-dosa yang kita buat? Itu disebabkan oleh dosa kita tanpa menghiraukan
betapa kecil atau remeh menurut anggapan kita, tetapi itu pada dasarnya adalah
suatu serangan pada keagungan yang tak terbalas dan wewenang yang berdaulat
dari Allah.
Dari sinilah kita mulai menyadari keseriusan dari dosa, segala dosa adalah
pemberontakan terhadap kewenangan Allah, suatu penghinaan akan hukum-Nya, dan
suatu pelanggaran atau perintah-perintah-Nya.
W. S.
Palmer berkata: “Kita tidak pernah mengerti dosa dengan benar sampai kita
mengerti itu sebagai yang menentang Allah”
Allah
dengan kesempurnaan penuh dari sifat moral-Nya, tidak ada yang lain kecuali
marah pada dosa, tidak hanya disebabkan oleh kecondongan yang merusak pada
manusia, tetapi juga lebih penting disebabkan oleh penyerangannya pada
keagungan-Nya.
Ringkasan dari salah satu bagian buku The
Gospel For Real Life By Jefrry Bridges
Dari Catatan Decroly Sakul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar