Dari ‘97 baca
Santapan Harian, lumayan mendisiplinkan diri untuk tiap hari buka Alkitab.
Beberapa bacaan terakhir bawa penekanan baru terhadap perpektif tentang Allah
yang saya sembah. (Allah yang telah memanggil saya untuk terus belajar
mengenal-Nya)
Seorang Abdi
Allah, taat melakukan apa yang Tuhan perintahkan (I Raja-Raja : 13), terbunuh
tragis karena ditipu. Memang dia melanggar tapi pelanggaran yang dapat
dimengerti, dimaklumi. Tragis. Tapi ternyata jalan hidup abdi Allah itu mau
dipertontonkan kepada seorang Raja
(Yerobeam Raja I Kerajaan Israel pasca terpecah setelah mangkatnya
Salomo). Jalan kehidupan Abdi Allah yang tragis justru jadi visualisasi bagi
Yerobeam supaya bertobat. Supaya Yerobeam tahu hukuman yang akan menimpa dia.
Yerobeam adalah Raja sehingga pimpinan yang berdosa membawa banyak orang lain
dalam dosa. Saya terganggu dengan ‘cara Allah’ mau menegur Yerobeam kok harus ‘korban’kan
‘Nabi yang setia’.
Eh, di Gereja
dapat lagi cerita tentang Uria yang mengalami ketidakadilan. Uria yang loyal,
setia, ksatria dan ‘lelaki sejati’, tidak mau pulang ke rumah karena rekan lain sedang berjuang melawan musuh di
medan perang. Uria tidak mau bersenang-senang sementara kawan seperjuangan
mempertaruhkan nyawa untuk bangsa dan kedaulatan negaranya. Apa akhirnya Uria,
istrinya diselingkuhi Raja dan mengalami kematian karena intrik tipu muslihat
Daud yang dilaksanakan dengan baik oleh Yoab.
Demikian juga
dengan Nabot. Setia dalam menjaga warisan nenek moyang, setia dalam pelaksanaan
hukum perintah Tuhan. Tanah warisan
dirampas setelah sebelumnya Nabot yang setia ini harus dirajam mati karena tuduhan palsu yang
dirancang permaisuri raja Izebel.
Ada banyak cerita
serupa yang kita temukan. ‘Orang benar’mengalami ketidakadilan dan sengsara
ditengah kesetiaan mereka. Apakah Tuhan diam? Apakah Tuhan tidak adil?
Mungkin juga ada
dari antara pembaca yang sedang mengalami ketidakadilan. Setelah memeriksa
langkah-langkah kehidupan kelihatan setia dan berpegang teguh pada prinsip
kebenaran. Tapi kehilangan orang terkasih atau bahkan diri sendiri jad ikorban
ketidakadilan!
Apakah Tuhan
mendengar? Apakah Tuhan Ada? Apakah Tuhan menjawab doa?
Ada abdi Allah yang
mengalami penyakit berkepanjangan atau istri
atau anaknya mengalami sakit yang butuh biaya tidak sedikit....dimana
Tuhan?
Adakalanya kita
tidak mendapatkan jawaban. Sama seperti Ayub (pasal 38-39) yang hanya mendapatkan Allah
dalam ‘keterbatasan untuk memahami’ (Ayub
39: 38: Satu kali aku berbicara tetapi tidak akan kuulangi; bahkan dua kali
tetapi tidak akan kulanjutkan).
Sang Anak juga
pernah berseru dan ditinggal sendiri di Getsemani. Sampai berteriak lantang di sepinya
Golguta “Eloi-eloi lama sabaktani”. (Allah
meninggalkan-Nya)
Mungkin ada hamba
Tuhan yang dapat menjelaskan lebih baik, lebih ilmiah tentang ‘ketidakadilan’
dari sudut pandang kita.
Tapi dari yang
dapat diperoleh dari beberapa hari perenungan ini:
1.
Allah
berdaulat
2.
Dia
Khalik kita Mahluk. Kita terbatas, Dia Tidak! Ada hal-hal yang tidak dapat kita
jangkau memahami apa maksud-Nya. Untuk itu setiap hari hanya dapat mengikuti
dan belajar mengenal-Nya
3.
Allah
ada dan mengetahui penderitaan. Buktinya ada banyak cerita yang seolah tidak
adil dialami hamba-Nya tapi tertulis dengan jelas didalam Firman. Tuhan ada dan
mengetahui semuanya
4.
Dunia
yang jatuh dalam dosa tidak dapat memberikan ‘kenyamanan’sesuai keinginan kita.
Apapun yang dihadapi tetap harus bergantung pada Allah.
5.
Kita
hamba
O Roh Kudus
mampukan hamba menjadi hamba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar