Haruskah
kita berhenti menbuat penilaian?
Jadi, siapa Anda mau menghakimi?
Itulah
pertanyaan yang diajukan oleh seorang peserta pendalaman Alkitab, setelah
gurunya mengatakan bahwa yang tidur bersama sebelum menikah itu tidak
menyenangkan Tuhan.
“Dan,
ngomong-ngomong, siapa di antara kita yang sempurna?” Lanjut siswa itu. “Kita
tidak punya hak untuk menghakimi moralitas pribadi orang lain”.
Jadi
siapa Anda yang mau menghakimi?
Kita
mendengarkannya setiap hari:
·
Siapa
Anda sampai mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat menyetujui hubungan homoseksual
yang penuh kasih?
·
Siapa
Anda untuk mengatakan bahwa saksi-saksi Yehuwa salah?
·
Siapakah
Anda untuk mengatakan bahwa ketika orang jatuh karena mereka “slain in the
spirit” oleh seorang pengkhotbahyang diurapi – siapa Anda untuk mengatakan
mereka tidak dijatuhkan kebelakang oleh
Roh Kudus?
·
Siapa
Anda sampai mengatakan bahwa jika seseorang disembuhkan dalam sebuah pertemuan,
ini mungkin tidak dilakukan oleh kuasa Tuhan? Dan siapa Anda untuk mengatakan
bahwa ketika patung perawan Maria menangis, kita tidak boleh berpikir bahwa dia
mencoba untuk menyampaikan pesan kepada kita?
Mengangkat subyek penghakiman dan
Anda akan mendapatkan dua tanggapan berbeda. Pertama, ada orang-orang bersedia membuat penilian signifikan;
mereka bertekad untuk “live and let live”, tentu saja dengan alasan. Mereka
percaya bahwa setiap orang harus dapat memilih nilai dan gaya hidupnya sendiri,
dan baik gereja maupun orang Kristen tidak memiliki hak untuk “menghakimi”
mereka.
Tetapi ada orang lain yang terlalu
bersemangat untuk menghakimi; mereka suka mengasah anak panah mereka,
mengidentifikasi target mereka, dan membiarkan orang-orang di sekitar mereka
tahu apa sebenarnya Tuhan pikirkan. Sayangnya, orang ini sering kritis yang
tidak hanya menilai orang lain dengan sikap yang salah, tetapi juga untuk
alasan yang salah. Seringkali mereka menghakimi orang lain, bukan karena
beberapa pelanggaran nyata dari prilaku atau doktrin alkitabiah tetapi karena tabu
kecil atau pelanggaran kecil. Seringkali para kritikus ini marah dan kesal
kepada mereka yang tak sesuai dengan keyakinan pribadi mereka. Seperti orang
Farisi, beberapa orang hanya melihat huruf dari hukum dan mengabaikan hal-hal
yang lebih penting dari keadilan, belas kasihan, dan kasih.
Saya
percaya bahwa Yesus sedang berbicara kepada kedua kelompok ketika Dia berkata,
“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman
yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai
untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Matius 7:1-2). Tapi apa yang Yesus maksud dengan kata-kata ini?
Apakah yang Dia maksudkan adalah bahwa kita melakukan kebaikan bagi diri kita
sendiri jika kita tidak membuat penilaian, karena penilaian seperti itu akan
kembali kepada kita sendiri? Saya pikir tidak.
Kita
dapat yakin bahwa Yesus tidak mengajarkan bahwa kita tidak boleh membuat
penilaian! Mengatakan, seperti yang dilakukan beberapa orang , bahwa kita harus
menerima Yesus saja dan memupuk suasana persatuan dan ketenangan; untuk
mengatakan bahwa kita harus memiliki sikap toleran yang tidak pernah mengkritik
pendapat tentang apa yang orang lain percaya dan lakukan – itu bukanlah ajaran
Kristus. Argumen bahwa persatuan lebih penting daripada kebenaran, dan kasih
lebih penting daripada doktrin yang benar, pada
intinya salah.
Perhatikan
saja konteks langsung dari kata-kata Yesus, “Jangan kamu memberikan barang yang
kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, suapaya
jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu berbalik mengoyak kamu” (Mat.
7:6). Bagaimana mungkin kita bisa mematuhi instruksi ini kecuali kita belajar
mengenali anjing dan babi? Yesus membuat pernyataan yang kuat tentang perlunya
discernment, untuk belajar membedakan antara yang bersih dan najis, mengevaluasi
apa yang bijaksana dan apa yang bodoh. Semua ini mengandalkan bahwa kita harus
membuat penilaian yang bijaksana.
Selanjutnya,
lihat konteks yang lebih jauh. “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang
kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah
serigala yang buas” (Mat. 7:15). Bagaimana kita dapat waspada tentang nabi-nabi
palsu kecuali kita dapat mengidentifikasi mereka? Kita seharusnya mencari tanda
pembeda dari guru palsu sehingga kita dapat menghindarinya dan memperingati
orang lain.
Hanya beberapa ayat kemudian, Yesus
membuat pernyataan yang lebih mengejutkan lagi, “Bukan setiap orang yang
berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan
dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak
orang akan berseru kepada-Ku Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi
nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu
juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata Aku tidak pernah
mengenal kamu! Enyalah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Mat.
7:21-23). Di sini kita memiliki pernyataan yang kuat tentang kehadiran nabi-nabi
palsu, yang tampaknya mampu melakukan mujizat yang luar biasa tetapi akan
dijauhkan dari pintu sorga di Hari Penghakiman. Kita bisa salah tentang banyak hal, tetapi janganlah kita salah tentang
guru-guru palsu dan doktrin mereka.
Paulus, penulis banyak kitab dalam
Perjanjian Baru, setuju dengan Yesus tentang perlunya membuat penilaian. Ketika
orang-orang percaya di Korintus gagal untuk mendisiplinkan orang yang tak
bermoral dari persekutuan mereka, Paulus berkata bahwa dia sendiri telah
menjatuhkan hukuman atas si pelanggar, dan bahwa gereja lebih baik
mendisiplinkan dia , sehingga “rohnya (mungkin) diselamatkan “, pada hari Tuhan
(I Korintus 5:5). Bagaimana mungkin gereja menjalankan otoritas seperti itu
kecuali kepimpinananya membuat penilaian?
Dalam
pasal berikutnya, Paulus mengajarkan bahwa orang percaya tidak boleh membawa orang
percaya lain ke pengadilan di hadapan hukum duniawi karena para pemimpin gereja
itu sendiri yang harus menangani perselisihan semacam itu. Dia menulis, “Atau
tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang kusus akan menghakimi dunia? Dan jika
penghakiman dunia berada dalam tangan kamu, tidakkah kamu sanggup untuk
mengurus perkara-perkara yang tidak berarti? Tidak tahukah kamu, bahwa kita
akan menghakimi malaikat-malaikat? Jadi apalagi perkara-perkara biasa dalam
hidup kita sehari-hari” (1 Korintus 6:2-3). Dia melanjutkan dengan mengatakan
bahwa mereka seharusnya malu karena mereka tidak dapat membuat penilaian yang
bijaksana tentang hal-hal seperti itu.
Lalu,
apa maksud Yesus ketika Dia berkata, “Jangan menghakimi, atau kamu juga akan
dihakimi” (Matius 7:1)? Singkatnya, Dia mengajarkan bahwa kita tidak boleh
membuat penilaian seperti orang Farisi. Kita tidak boleh menjadi orang Farisi,
yang suka menghakimi hal-hal yang salah, atau bahkan jika mereka membuat
penilaian yang benar, tapi dengan alasan atau motif yang salah. Mereka
menunjukkan nada “holier than thou” (“lebih suci darimu”) dalam segala hal yang
mereka lakukan dan katakana. Kita dapat mengatakan bahwa Yesus sedang
memperingatkan kita, “Jangan menjadi orang Farisi, tetapi buatlah penilaian
yang benar”.
Bagaimana
kita bisa terhindar dari Farisi di satu sisi dan mudah tertipu di sisi lain?
Bagaimana kita tahu apa yang harus diadili dan bagaimana penilaian harus
dibuat? Apa parameter untuk membimbing kita? Ini adalah pertanyaan yang harus
dijawab. Ingatlah bahwa kata hakim berarti melatih discernment; di lain waktu
itu bisa berarti menjatuhkan hukuman; dan terkadang kedua ide itu ada secara
bersama. Tetapi jelas Yesus tidak mengajarkan bahwa semua penilaian itu salah.
Menghakimi, atau ketajaman menilai yang benar atau salah (discernment),
terletak di jantung kehidupan Kristen.
Prinsip-Prinsip Penilaian Alkitabiah
Tidak
seorang pun dari kita membuat penilaian yang sempurna. Bahkan orang-orang saleh
sering tidak setuju mengenai manfaat relative dari beberapa hal atau cara
penilaian harus ditangani. Tetapi jika kita dapat menyutujui prinsip-prinsip
berikut, kita memiliki dasar untuk menilai. Berikut adalah beberapa pedoman yang
akan membantu kita membuat penilaian yang bijaksana.
1)
HUMILITY, NOT SUPERIORITY (Kerendahan hati, bukan
superioritas)
Kita telah belajar bahwa orang-orang
Farisi terlalu ingin menghakimi. Mereka memiliki semangat kritis dan ingin
percaya yang terburuk tentang orang lain. Sayangnya,kita harus mengatakan bahwa
mereka senang ketika mereka menemukan pelanggaran yang mereka cari. Seperti
anak yang sulung dalam kisah Anak yang Hilang, orang yang merasa benar sendiri
membenci anugerah Allah dan kehidupan orang-orang berdosa yang besar. Dia tidak
bisa bersukacita atas berkat yang telah dicurahkan Bapa kepada orang-orang yang
dia yakin pantas dihukum. Orang Farisi ingin memastikan bahwa setiap orang
mengikuti aturan yang ditentukan, walaupun dia sendiri tidak melakukannya
secara pribadi. Jika mereka tidak menurutinya, dia ingin mereka diadili dengan
berat. Mari kita perhatikan ilustrasi humoris Yesus, “Mengapa engkau melihat
selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau
ketahui? Bagaimana engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku
mengeluarkan selumbar itu dari matamu padahal ada balok di dalam matamu”
(Matius 7:3-4). Sebagai metafora, mata mewakili jiwa, bagian dari kita yang
“melihat”, secara spiritual, itu mengacu pada bagian dari kita yang bernalar,
berperasaan, dan berkehendak. Beberapa ayat sebelumnya, Yesus berkata, “Mata
adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu
jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa
gelapnya kegelapan itu” (Matius 6:22-23). Jelas, penting bagi kita untuk
memiliki mata yang jernih, yaitu pikiran dan hati yang bebas dari kotoran.
Jelas,
Yesus bermaksud agar kita melihat humor di dalamnya. Visualisasikan seorang
pria dengan balok di matanya berjalan melalui lobi gereja mencoba untuk
menemukan seseorang dengan selumbar di matanya dan dia akan menghapuskannya!
Gambaran orang seperti itu yang melihat ke cermin tetapi tidak dapat melihat
balok di matanya karena dibutakan oleh balok tersebut, itu memang benar-benar
lucu.
Sekarang,
tentu saja, jika orang itu benar-benar jujur, jika dia dimotivasi oleh
keinginan yang tulus untuk menyenangkan Tuhan, maka dia akan sama menilai secara
khusus tentang dirinya sendiri seperti dia menilai orang lain. Dia akan
berusaha keras untuk melepaskan balok itu dari matanya sendiri lebih dahulu dan
kemudian kalau dia menemukan selumbar pada mata orang lain barulah dia bisa
memberi nasihat secara bijaksana.
Seperti yang dikatakan D. Martyn Lloyd-Jones, “Jika seorang mengklaim
bahwa satu-satunya minatnya adalah pada kebenaran dan keadilan, dan sama sekali
tidak pada personality, maka dia akan sama kritisnya terhadap dirinya sendiri
seperti halnya terhadap orang lain”.
Berikut adalah prinsip dasar sifat
manusia:
1. Orangg sering melihat selumbar di
mata orang lain dan,
2. Mereka melihat balok-balok mereka
sendiri sebagai selumbar.
Beberapa orang hidup di dua dunia. Di dunia A, mereka mungkin adalah guru sekolah minggu, penatua, dan pemimpin Kristen yang terpercaya. Tetapi di dunia B, mereka mungkin melakukan perzinahan, kecanduan, atau gemar menghakimi orang lain. Terkadang mereka mencari kesalahan orang lain, berharap reputasi mereka sendiri akan meningkat dengan membanding-bandingkan. Orang seperti itu melihat selumbar pada orang lain justru karena dia mencoba membuktikan bahwa dia bisa “melihat”, meskipun balok itu ada di matanya sendiri. Dia percaya baloknya sangat tersembunyi sehingga tidak ada yang bisa melihatnya, dan fakta bahwa dia bisa “melihat” selumbar di mata orang lain membuktikan dia seperti itu.
Dosa selalu mendistorsi persepsi kita.
Ketika Nathan menghadap Daud dengan sebua cerita tentang seorang kaya yang
telah mengambil seekor domba seorang miskin, Daud sangat marah dan berkata,
“Demi Tuhan yang hidup orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak
domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah
melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan” (2 Samuel
12:5-6). Kemudian berkatalah Nathan kepada Daud: “Engkaulah orang itu” (ayat
7). Daud dapat melihat betapa jahatnya mencuri anak domba seorang miskin,
tetapi dia tidak dapat melihat dosa lebih besar dari mencuri istri seorang pria
dan kemudian membunuhnya untuk menutupinya. Meskipun buta terhadap dosanya
sendiri, dia melihat dosa orang lain dengan jelas.
Maksud
Kristus: kita tidak berhak menghakimi orang lain sebelum kita rela mengakui
telah mengeluarkan balok di mata kita sendiri. Mungkin salah satu masalah
terbesar di gereja kita adalah bahwa kita tidak meratapi dosa pribadi kita
sendiri. Kita berdosa tanpa brokenness,
tanpa pengakuan penuh atas kesalahan kita di hadirat Allah. Kita pikir dosa
kita dangkal, sehingga kita menghadapinya secara dangkal.
Ketika
kita memiliki keberanian untuk melihat diri kita sendiri di hadirat Tuhan, kita
tidak akan pernah menghakimi orang lain dengan cara yang salah. Setelah
mengeluarkan balok dari mata kita sendiri, sekarang kita akan melihat dengan
jelas untuk menghilangkan selumbar dari mata saudara kita. Paulus menulis,
“Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka
kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah
lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan”
(Galatia 6:1).
Semakin
rendah hati kita, semakin banyak belas kasihan yang akan kita tunjukkan kepada
orang lain. Mereka yang telah diberi belas kasihan harus menjalankan belas
kasihan, mereka yang telah menerima anugerah harus mengundang orang lain untuk
menerima anugerah yang besar.
Decroly Sakul Juni 2021
Bersambung!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar