Arsip Blog

Kamis, 31 Maret 2022

LANJUTAN, JUDGE NOT….


                2)FACTS, NOT PRESUMPTION (Fakta, Bukan Anggapan)

Jika kita cepat menghakimi, kita tidak akan membutuhkan banyak bukti untuk membentuk penilaian kita. Fragmen informasi akan cukup bagi mereka yang telah mengambil keputusan tentang prilaku dan keyakinan orang lain. Beberapa orang berpikir mereka memiliki hak untuk “menghubungkan titik titik” (“connect the dots”) dan menarik kesimpulan berdasarkan intuisi mereka sendiri , firasat, dan keinginan sebelumnya. Jika mereka marah atau menikmati semangat kritis, mereka akan cenderung melompat ke kesimpulan. Tidak heran kita membaca, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Amsal 18:13).

                Konteks, alasan dan motivasi – semua ini masuk untuk membuat penilaian yang tepat. Jadi, alangkah tidak simetris perspektifnya seseorang ketika ia hanya mendengar satu sisi cerita.

                Sebagai manusia, kita selalu terbatas dalam pengetahuan kita. Tidak mungkin bagi kita untuk mengetahui segalanya tentang apa pun; dengan demikian kita mengakui bahwa penilaian kita mungkin bisa salah. Tetapi kita harus berusaha melindungi terhadap penilaian yang tergesa-gesa dengan melakukan penelitian, mengajukan pertanyaan,dan memiliki saksi yang tepat. Ada alasan Paulus menulis kepada Timotius, “Jangan engkau menerima tuduhan atas seorang penatua kecuali kalau didukung dua atau tiga orang saksi” (1 Timotius 5:19).

                Tentu saja, hari ini, ajaran dari setidaknya beberapa guru palsu tersebar luas, dalam buku, program televisi, dan pekabaran rohani. Namun,  kita tidak boleh terburu-buru, tetapi meminta Tuhan untuk membantu kita membuat penilaian yang bijak.

                Kita harus belajar bahwa kadang-kadang kita harus menahan penilaian. Kita tidak bisa memberikan vonis pada setiap pengkotbah, setiap gerakan, dan setiap buku atau film. Di mana kita kurang informasi, kita harus berhati-hati. Fakta, bukan anggapan, harus membimbing kita.

 

                3) WORDS AND ACTIONS, NOT MOTIVES (kata-kata dan tindakan, bukan motif)

Hanya Tuhan yang tahu motif dari hati. Kita mungkin melihat seorang pengkhotbah TV mendesak orang untuk mengirimnya uang dan mungkin kita tidak mengenalnya cukup baik untuk membuat penilaian seperti itu. Namun, apa yang dapat kita katakan adalah bahwa ia mengikuti di jalan para nabi palsu yang telah cenderung pada penekanan pada uang. “Dan karena serakahnya guru-guru palsu itu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan cerita-cerita isapan jempol mereka. Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda” (2 Petrus 2:3). Kita diperintahkan untuk mengkritik doktrin, metode, dan gaya hidup pria (atau wanita). Tapi kita tidak memenuhi syarat untuk menilai rahasia dari jiwanya.

                Setan mengatakan bahwa Ayub melayani Tuhan karena apa yang bisa dia dapatkan sebagai imbalan. Tetapi Iblis itu salah tentang motifnya Ayub; Ayub terus melayani Tuhan ketika semuanya diambil darinya (lihat Ayub 1:9-11). Iblis keliru ketika menilai motif, dan demikian juga kita.

                Paulus berkata bahwa pendapat orang lain tidak begitu diperhatikannya;

                “Bagiku sedikit sekali artinya entahlah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan             manusia. Malahan diriku sendiri pun tidak kuhakimi….

                Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan          menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa

                yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan

                di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah” (1 Kor.4:3,5).

Kita diperintahkan untuk menilai ajaran dan prilaku; kita diperintahkan untuk menilai kelakuan dan sikap berdosa; tetapi motif milik Tuhan dan berada di luar jangkauan pengetahuan dan yuridiksi kita.

                Fakta bahwa kita tidak dapat mengetahui motif orang lain seharusnya tidak menghentikan kita untuk menilai motif kita sendiri. Kita harus bertanya: “Mengapa kita khawatirkan membuat penilaian? Apa motif Anda untuk mengkritik guru-guru palsu, entertainment, dan gaya hidup orang lain dan diri kita sendiri? Mengapa kita mempelajari tentang bagaimana menilai atau menghakimi?   Pertama, motif kita harus menjaga diri kita dari kesalahan. Mengingat kata-kata Yesus tentang selumbar dan balok, kita harus ingat bahwa mengambil balok dari  mata kita sendiri harus menjadi prioritas utama kita. Kita ingin tahu kebenaran karena kita ingin menjadi kudus jika ingin menyenangkan Tuhan, dan kita ingin tahu pikiran-Nya mengenai apa yang harus kita percayai dan bagaimana kita harus hidup. Semua penilaian (penghakiman) dimulai dengan pengakuan yang tajam bahwa kita bertanggung jawab kepada Allah untuk semua bakat dan harta kita dan, khususnya, gaya hidup dan nilai-nilai kita. Kita ingin menjadi “Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Matius 10:16) karena kita sendiri akan dievaluasi oleh Tuhan kita.

                Kedua, motif kita harus membimbing orang lain, untuk memastikan bahwa mereka dipimpin di jalur keselamatan. Penatua memiliki tanggung jawab khusus terhadap jemaat, Paulus mengatakan kepada para penatua Efesus.

                “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan

                Roh Kudus menjadi penilik untuk mengembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan

                darah Anak-Nya sendiri. Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas               akan masuk ke tengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu. Bahkan dari                antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka ber-

                usaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikuti mereka. Sebab itu

                berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun lamanya, siang malam, dengan tiada

                henti-hentinya menasehati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata “

                (Kisah Para Rasul 20:28-31).

Jadi, meskipun kita tidak dapat menilai motif orang lain, mari kita minta Tuhan untuk menilai motif batin kita sendiri. Mari kita pastikan bahwa kita selalu menilai dengan anugerah dan belas kasihan; janganlah kita senang menemukan kesalahan orang lain. Setiap situasi dan orang harus diperlakukan secara berbeda. “Tunjukkan belas kasihan kepada mereka yang ragu-ragu, selamatkanlah mereka dengan jalan merampas mereka dari api. Tetapi tunjukkanlah belas kasihan yang disertai ketakutan kepada orang-orang lain juga, dan bencilah pakaian mereka yang dicemarkan oleh keinginan-keinginan dosa” (Yudas 22-23).

                Mari kita coba membatasi penilaian kita terhadap kata-kata dan tindakan orang lain dan tidak menuduh motif mereka.

 

                4) BIBLICAL ISSUES, NOT PREFERENCES (isu-isu Alkitab, bukan preferensi)

Beberapa hal selalu benar. Kita harus selalu saling mencintai; kita harus selalu membenci apa yang jahat;  kita harus berbuat baik untuk semua orang. Di sisi lain, beberapa hal selalu salah; selalu salah untuk membenci, selalu salah untuk mencintai kejahatan atau berzina. Tetapi ada beberapa hal yang terletak di antara bidang yang didefinisikan dengan jelas. Beberapa hal menjadi baik atau jahat tergantung pada konteks, motif kita, dan siapa yang terkena dampak dari apa yang kita lakukan.

                Ketika kontroversi makan daging memecah belah komunitas Kristen, Paulus memberikan beberapa prinsip penting untuk membantu menjaga rekonsiliasi. Dia menulis bahwa beberapa orang Kristen boleh makan daging, yang lainnya hanya sayuran, tetapi kedua kelompok harus saling menerima. Dia menulis, “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya” (Roma 14:1). Kemudian dia menambahkan, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain?” Entahlah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri” (Roma 14:4).

                Intinya: Kita tidak berhak menghakimi orang lain dalam masalah hati nurani di mana ada kebebasan memilih prilaku atau kepercayaan. Beberapa hal mungkin tidak diperbolehkan bagi saya tetapi mungkin diperbolehkan bagi Anda, dan sebaliknya. Mungkin seorang Kristen memiliki kebebasan untuk minum anggur, padahal itu akan melanggar hati nurani orang lain. Kemudian, sekali lagi, bahkan seorang Kristen yang memiliki kebebasan mungkin memilih untuk tidak menggunakannya karena itu menjadi batu sandungan bagi yang lain.

                Ketika kita menilai, kita harus dapat menunjuk pada sebuah ayat Kitab Suci atau prinsip alkitabiah yang mendasari pendapat kita. Pada akhirnya, kita sangat memperhatikan tentang apa yang telah Tuhan ungkapkan, bukan tentang preferensi dan keyakinan pribadi kita. Itu berarti bahwa kita tidak akan selalu setuju dengan orang Kristen lain tentang di mana garis batas harus ditarik. Terkadang kita akan merasa hampir tidak mungkin untuk memisahkan diri dari budaya, latar belakang, atau tempramen kita. Dan bahkan jika kita bisa mengelola kemampuan untuk tidak terpengaruh dengan hal-hal tersebut., kita masih akan menemukan bahwa sebagai manusia kita akan mengalami ketidakkesepakatan dalam bidang-bidang tertentu.

                Tetapi jangan biarkan hal ini menghalangi kita untuk membuat penilaian alkitabiah yang diperlukan di hari ketika ketajaman untuk membedakan difitnah sebagai musuh dari kasih. Kita mungkin tidak setuju pada detailnya, tetapi Alkitab tentu saja cukup jelas untuk membantu kita tetap berada dalam parameter yang diatur secara ilahi. Kita juga tidak boleh mundur dari ketajaman untuk membedakan yang baik dan yang jahat (discernment), meskipun kita tahu bahwa hanya Tuhan yang tahu semua faktanya.

                Ketika kita membuat penilaian, kita harus bertanya:

·         Kebenaran alkitabiah apa yang sedang disangkal?

·         Kebenaran apa yang digantikan?

·         Kebenaran apa yang diabaikan?

·         Kebenaran apa yang tidak seimbang?

 

5) TEMPORAL, NOT ETERNAL JUDGMENTS (Penghakiman sementara, bukan abadi)

Kita telah belajar bahwa orang Farisi tidak hanya menghakimi hal-hal yang salah tetapi bertindak seolah-olah mereka memiliki hak untuk membuat penghakiman akhir. Tapi hak prerogative seperti itu hanya milik Tuhan. Kita memiliki kekuasaan untuk menghakimi, tetapi kita tidak memiliki kekuasaan untuk mengutuk; kita punya hak untuk memperingatkan tapi tidak punya hak untuk menghina.

                Mari kita kembali ke kata-kata Yesus. Dia berkata: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Matius 7:1-2).

Apa hubungan antara penghukuman kita dan bagaimana kita pada gilirannya akan diadili? Yesus berkata bahwa ukuran yang kita gunakan untuk orang lainakan menjadi ukuran yang digunakan untuk mengukur kita.

                Ungkapan ini dapat ditafsirkan dalam dua cara. Ini bisa berarti bahwa jika Anda menghakimi orang lain, mereka akan menghakimi Anda dengan ukuran Anda sendiri. Dengan kata lain, Anda akan diperlakukan sebagaimana Anda memperlakukan orang lain. Ada beberapa kebenaran dalam hal ini, karena kita semua tahu bahwa orang yang kasar dan suka menghakimi biasanya dihakimi lebih kasar oleh orang lain. Ketika orang yang menghakimi itu tersandung, kita ingin memastikan bahwa dia mendapatkan “apa yang akan terjadi padanya”. Seseorang yang biasanya keras dan mengutuk ketika seorang saudaranya jatuh ke dalam perbuatan amoral, menemukan bahwa dia, pada gilirannya, menerima penghakiman yang lebih keras ketika dia melakukan dosa yang sama.

                Namun Yesus mungkin memiliki arti lain dalam pikiran-Nya. Banyak komentator percaya Dia bermaksud bahwa jika Anda menghakimi orang lain dengan standar yang ketat, Anda akan dihakimi lebih ketat oleh Tuhan. Kita memiliki contoh penghakiman seperti itu dalam Perjanjian Baru. Paulus memperingatkan orang-orang yang tidak layak ketika berpartisipasi dalam Komuni bahwa mereka harus menilai diri mereka sendiri dalam hal ini. “Kalau kita menguji diri kita sendiri, hukuman tidak menimpa kita. Tetapi kalau kita menerima dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia” (1 Korintus 11:31-32). Beberapa , yang tidak menghakimi diri mereka sendiri, mati di bawah tangan dari pendisiplinan Tuhan.

                Atau pertimbangkan kata-kata ini: “Karena itu, hai manusia, siapa pun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama” (Roma 2:1). Orang –orang seperti itu membuktikan dengan penilaian mereka sendiri bahwa mereka tahu apa yang benar, tetapi karena mereka tidak lebih baik, mereka mengutuk diri mereka sendiri. D. Marty Lloyd-Jones mengatakan “Jika kita duduk sebagai yang berotoritas dalam menghakimi orang lain, kita tidak punya hak untuk mengeluh jika kita dihakimi dengan standar itu. Itu cukup wajar, cukup adil, dan kita tidak punya alasa apa pun untuk mengeluh”.

                Orang Farisi menilai orang dari hal-hal external, dan mereka pikir mereka berhak untuk menghukum orang lain dalam penghakiman terakhir. Dan lebih buruk, mereka menghakimi orang lain untuk hal-hal yang mereka sendiri lakukan. Mereka yang cepat menghakimi akan dihakimi lebih ketat oleh Tuhan.

 

                                                                THE BOTTOM LINE

                Tidak heran jika subyek penghakiman penuh dengan tantangan. Di satu sisi adalah orang-orang yang suka menghakimi, cepat mengutuk dan kurang belas kasihan; di sisi lain adalah orang-orang  yang “live and let live” (memutuskan tidak melakukan apa-apa), yang bertindak seolah-olah tidak ada yang berarti bagi Tuhan.

                Tidak semua orang dengan balok di matanya mencari selumbar di mata orang lain. Beberapa orang mentolerir “balok mereka sendiri dan  senang  untuk mentolerir “selumbar” dan “balok” di mata orang lain. Agar konsisten, mereka tidak menghakimi diri mereka sendiri maupun orang lain.

                Kemampuan untuk membuat penilaian terletak di jantung kehidupan Kristen. Kecuali kita mampu menilai doktrin dan gaya hidup , jika kita tidak dapat membedakan antara penampilan luar dan karakter batin, kita mungkin akan kehilangan tujuan yang Tuhan menempatkan kita di bumi ini.

                Kita tidak menuntut kesempurnaan. Kita tidak mengklaim bahwa kita berada di atas mereka yang kita nilai. Namun, kita menegaskan bahwa kita diperintahkan untuk mempelajari Alkitab untuk menemukan kebenaran tentang dua kebenaran sederhana: Apa yang Tuhan ingin kita percayai dan bagaimana Dia ingin kita menjalani kehidupan? Kita menegaskan bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk hidup dengan kebenaran-kebenaran ini dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.

                Ketajaman untuk membedakan yang benar dan yang salah menentukan nasib kita.

                               

 Decroly Sakul Juni 2021

 

Tidak ada komentar: