Menjadi Diri Sejati Anda
Kesadaran
akan diri Anda dan hubungan Anda dengan Tuhan sangat terkait. Pada
kenyataannya, tantangan melepaskan manusia lama yang salah untuk mengenakan
hidup baru yang benar dan otentik mengena tepat pada inti dari spiritualitas
yang benar.
Rasul Paulus menyatakan ini, “Harus
menanggalkan manusia lama…….dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan
menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” (Efesus
4:22, 24).
Agustinus menulis dalam Confession,
“Bagaimana kamu bisa mendekat kepada Tuhan ketika kamu jauh dari dirimu
sendiri?
Dia berdoa: “Tuhan, karuniakanlah
agar saya bisa mengenal diri saya sehingga saya boleh mengenal Engkau”.
Meister Eckhart, seorang penulis
Dominikan dari abad ketiga belas, menulis, “Tidak ada yang bisa mengenal Tuhan
yang tidak lebih dulu mengenal dirinya sendiri”.
St. Teresa of Avila menulis dalam The
Way of Perfection: “Hampir semua masalah dalam kehidupan spiritual berasal dari
kurangnya pengetahuan diri (self-knowledge).
John Calvin menulis dalam pembukaan
bukunya Institutes of The Christian Religion: “Kebijaksanaan kita ….. hampir
seluruhnya terdiri dari dua bagian: Pengetahuan tentang Tuhan dan tentang diri
kita sendiri. Tetapi karena ada yang terhubung bersama oleh banyak ikatan,
tidak mudah untuk menentukan yang mana dari antara keduanya yang mendahului dan
melahirkan yang lain”.
Sebagian
besar dari kita pergi ke kuburan tanpa mengetahui siapa kita. Kita secara tidak
sadar menjalani kehidupan kehidupan orang lain, atau setidaknya harapan orang
lain untuk kita. Ini benar-benar membahayakan diri kita sendiri, hubungan kita
dengan Tuhan, dan akhirnya dengan orang lain.
I AM A CREATURE
Ketika
kita mulai menjawab pertanyaan, “Siapa saya ?”, kita perlu mulai dengan
kebenaran yang paling dasar tentang kita. Kita adalah mahluk yang dicipta.
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
dicipkan-Nya dia; laki_laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:
27). Walaupun dicipta menurut gambar Allah yang meletakkan kita pad taraf yang
sama sekali berbeda dari setiap binatang, kita tetap mahluk ciptaan. Inilah
yang membuat kita bergantung pada
Allah maupun bertanggung jawab
pada-Nya ( dependent upon God and accountable to God ).
UTTERLY DEPENDENT
Satu dari kebenaran-kebenaran yang
paling dasar tentang semua mahluk ciptaan adalah bahwa kita bergantung pada
Allah. Mazmur 145: 15-16 berkata, “Mata sekalian orang menantikan Engkau, dan Engkau
pun memberi mereka makanan pada waktunya; Engkau yang membuka tangan-Mu dan
yang berkenan mengenyangkan segala yang hidup.” Bagian ini menunjuk terutama
sekali pada dunia binatang, tetapi prinsip dari ketergantungan itu berlaku bagi
manusia juga.
FOOD
Dalam banyak hal, kita bersama-sama
dengan dunia binatang mempunyai ketergantungan. Tetapi paling kurang ada satu
perbedaan yang penting. Allah mentakdirkan bahwa kita umat manusia harus
bekerja untuk menghasikan makanan kita (lihat Kejadian 2:15), dan bahayanya di
dalam pekerjaan itu juga kita dapat menghasilkan suatu perasaan kemerdekaan
dari Allah. Kita mulai berpikir bahwa kebutuhan pokok kita dipenuhi semata-mata
melalui kerja keras kita sendiri atau melalui kelihayan usaha kita, yang
memberikan kita uang untuk membeli makannan. Allah secara khusus memperingati
bangsa Israel dari bahaya ini ketika Ia berkata, “Maka janganlah kaukatakan
dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh
kekayaan ini. Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allah-mu, sebab Dialah
yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud
meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu,
seperti sekarang ini” (Ulangan 8:17-18).
LIFE AND BREATH
Kita mempunyai suatu kebutuhan lebih
mendasar daripada makanan; kita bergantung pada Allah untuk kehidupan itu juga,
bahkan nafas kita. Kisah Para Rasul 17:25 berkata, “Dan juga tidak dilayani
oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang
memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua
orang.” Setiap nafas yang kita nafaskan adalah suatu pemberiaan. Dan kehidupan
setiap hari adalah juga suatu pemberian dari Dia. Seperti Daud berkata, “Masa
hidupku ada dalam tangan-Mu” (Mazmur 31:16).
PLANS
Kita bergantung pada Allah untuk
pelaksanaan rencana-rencana kita.
Setiap orang membuat rencana. Sesunguhnya kehidupan akan menjadi lebih semrawut
tanpa rencana. Dan kita menduga kita akan selalu bisa melaksanakan
rencana-rencana itu. Tetapi Yakobus berkata bahwa ini tidak demikian.
Sebaliknya ia mengatakan, “Jadilah sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini
atau besok kami berangkat ke kota anu, dan disana kami akan tinggal setahun dan
berdagang serta mendapat untung,” sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi
besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan
lalu lenyap” (Yakobus 4:13-14).
ABILITIES
Kita bergantung pada Allah untuk
kemampuan-kemampuan kita, pemberian-pemberian rohani kita, dan talenta kita.
Rasul Paulus mengatakan di 1 Korintus 4:7, “Apakah yang engkau punyai, yang
tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau
memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?”
Dengan
jelas, budaya yang lebih luas yang di dalamnya kita hidup sekarang ini gagal
mengenal bahwa kita bergantung pada Allah untuk segala hal. Sering sekali
budaya itu menolak gagasan tersebut secara total. Dan selama pengaruh dari
budaya hampir tak terelakkan merembes pikiran kita sebagai orang Kristen, kita
bisa mulai melupakan bahwa kita bergantung penuh pada Allah untuk setiap aspek
dari kehidupan kita. Untuk lebih menguraikan kebergantungan kita dihadapan
Allah, kita bisa melihat ketergantungan kita menjadi dua katagori yang umum:
physical fragility and spiritual vulnerability
PHYSICALLY FRAGILE (Jasmani yang rapuh)
Sebagai mahluk ciptaan yang
bergantung, kita adalah jasmani yang rapuh- mudah tertimpah penyakit,
kecelakaan dan segala macam hal. Kita adalah rapuh.
Amsal 27:1 mengatakan: “Janganlah
memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi
hari itu.” Untuk hal itu kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi satu jam
berikut. Oleh karena itu kita perlu mengenal betapa rapuhnya kita, dan sebagai
akibat kita menjadi sadar akan kebergantungan kita kepada Allah.
SPIRITUALLY VULNERABLE (Rentan secara
spiritual)
Sebagai mahluk ciptaan yang
bergantung, kita adalah juga rentan secara spiritual. Kita mempunyai tiga
musuh: dunia, iblis dan kedangingan kita
yang berdosa. DUNIA – keseluruhan
umat manusia yang beroposisi kepada Allah – berusaha dengan tak henti-hentinya
untuk mempengaruhi kita mengikuti standard dan nilai-nilainya. IBLIS datang kepada kita dengan
menyamar dirinya sebagai seorang malaikat terang (2 Korintus 11:14) berusaha
menebarkan keraguan di pikiran kita mengenai kasih dan kesetiaan Allah terhadap
kita. Dan kemudian, yang terjelek dari semuanya, kita mempunyai kedagingan yang berdosa yang terus
menerus berusaha keras melawan Roh yang berdiam di dalam kita.
Di
dalam bidang spionase ada seorang yang sering disebut seekor tikus mondok ( a
mole ). Khususnya, a mole bekerja di dalam suatu pemerintah, bercampur ke dalam
yang kelihatannya sebagai suatu “tim bermain”, padahal ia (laki atau perempuan)
nyatanya sedang mengabdi sebagai mata-mata dari suatu pemerintah yang
berlawanan. Orang ini sebenarnya adalah seorang penghianat, pada semua
penampilannya yang kelihatannya bekerja untuk suatu pemerintah, tetapi
sesunguhnya dia bekerja untuk pemerintah yang lain.
Dalam
banyak cara, kedagingan kita yang berdosa bertindak seperti a mole. Itu secara
terus menerus memberi diri pada pikatan-pikatan dari dunia dan bujukan-bujukan
dari Iblis, dan dengan tak henti-hentinya bekerjasama dengan mereka. Oleh
karena itu kita sangat rentan secara rohani.
Setelah
kita mengerti akan keadaan kita yang rapuh secara jasmani dan rentan secara
spiritual seharusnya membuat kita lebih sadar akan kebergantungan kepada Tuhan.
MORALLY ACCOUNTABLE
Umat manusia adalah berbeda dari
ciptaan yang lain yang di dalamnya Allah menciptakan kita dalam gambar-Nya.
Pusat di antara semua hal yang mungkin termasuk dalam kebenaran itu adalah
fakta bahwa kita memiliki dimensi moral; kita mempunyai kemampuan untuk
mengetahui yang benar dari yang salah, dan kemampuan untuk patuh atau tidak
patuh pada Allah. Ini berarti bahwa sebagai ciptaan yang bermoral kita adalah
bertanggung jawab kepada Tuhan. Allah menekankan tanggung jawab ini pada mausia
pertama, Adam. Kejadian 2:16-17 mengatakan, “Lalu Tuhan Allah memberi perintah
ini kepada manusia: “ semua pohon di taman ini boleh kau makan buahnya dengan
bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, jangan
kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
Dengan perintah itu, Allah membuat Adam dan Hawa bertanggung jawab.
Tema
dari pertanggungjawaban ini berlangsung di seluruh Alkitab. Di dalam Kejadian
4, Allah menganggap Kain bertanggung jawab atas pembunuhan adiknya. Di dalam
Keluaran 20, Allah memberikan Israel 10 Perintah Allah, dengan jelas menyatakan
secara tidak langsung pertanggungjawaban atas ketaatan. Di dalam Mazmur 119:4
mengatakan: “Engkau sendiri telah menyampaikan titah-titah-Mu, supaya dipegang
sungguh-sungguh.” Paulus berkata, Demikianlah setiap orang di antara kita akan
memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah” (Roma 14:12).
Akhirnya, pada akhir zaman, orang mati akan dihakimi masing-masing menurut
perbuatannya (Wahyu 20:13). Oleh karena itu dari penciptaan Adam sampai akhir
zaman Allah menganggap umat manusia bertanggung jawab pada-Nya untuk mentaati
perintah-perintah-Nya. Inilah apa artinya menjadi bertanggung jawab secara
moral.
Tetapi
sebagaimana kita condong melalaikan atau bahkan menolak realitas dari
kebergantungan kita secara total kepada Allah, demikian juga kita sering sekali
lalai atau menolak pertanggungjawaban kita pada Dia.
APLICATION
Aplikasi
apa yang harus kita buat dari kebenaran bahwa kita bergantung dan bertanggung
jawab?
HUMILITY
(Kerendahan hati)
Pertama, realisasi ini harus
menghasilkan kerendahan hati. Mengetahui bahwa saya bergantung secara mutlak
kepada Allah untuk setiap nafas dan setiap butir dari makanan; mengerti bahwa
saya bertanggung jawab kepada Allah untuk setiap pikiran, setiap kata, dan
setiap tindakan; dan menyadari begitu seringnya saya gagal memuliakan Allah
dalam cara-cara ini – ini semua harus menghasilkan kesadaran akan kerendahan
hati yang dalam dan tak kunjung hilang.
GRATITUDE
(Terimakasih)
Kedua, realisasi ini juga
menghasilkan terimakasih yang dalam. Segala sesuatu yang baik di dalam saya
atau sekitar saya, apakah rohani atau materi, adalah suatu pemberian dari
Allah. Lebih penting lagi sebagai orang yang telah percaya pada Kristus sebagai
Penyelamat saya, saya tahu bahwa Ia telah menanggung pertanggunganjawaban atas
semua dosa-dosa saya pada diri-Nya dan telah membayar pinalti (hukuman) secara
penuh untuk setiap perbuatan ketidaktaatan saya.
Decroly Sakul Juni 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar