Tatanan ilahi harus mulai dengan Tuhan daripada
dengan diri kita sendiri, dan untuk memulai dengan Tuhan berarti mendapatkan
pemahaman tentang kondisi kita di mata-Nya saat berdiri pada posisi sebelum
kematian Kristus.
Bagi
Tuhan, kondisi itu melibatkan dilemma.
God’s Insolent Opponents
Paulus
menyampaikan dilemma ini dalam bab pembukaan dari surat pertamanya kepada
Timotius. Tuhan adalah “Raja segala
zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang esa!” (1 Tim. 1:17). Sebagai Raja segala zaman, Dia adalah Berdaulat
mutlak yang melampaui waktu. Allah yang
kekal - Dia kebal terhadap
kerusakan, kehancuran, dan kematian. Dan Dia
yang tak Nampak – hidup dalam cahaya yang tak dapat didekati, sehingga
mahluk berdosa tidak dapat melihat Dia dan hidup. Lebih jauh, Dia satu-satunya Tuhan, tanpa saingan.
Sangat
kontras dengan ini adalah potret kemanusiaan yang dilukiskan Paulus kepada
Timotius: “orang durhaka dan orang lalim..orang fasik dan orang durhaka..orang
duniawi dan orang yang tak beragama..pembunuh bapa dan pembunuh ibu dan
pembunuh pada umumnya…orang cabul dan pemburit, penculik, pendusta, makan
sumpah dan seterusnya segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran sehat” (1
Timotius 1:9-10)
Itulah
perspektif alkitabiah tentang umat manusia – dan kita semua cocok di suatu hal
tersebut dalam deskripsi itu.
Paulus
menempatkan dirinya di sana juga, mengakui bahwa dia telah menjadi “seorang
penghujat, penganiaya dan seorang ganas (insolent)” terhadap Tuhan. Paulus bahkan mengidentifikasi
dirinya sebagai “ yang paling berdosa di antara orang berdosa” (lihat 1
Timotius 1:13,15).
Bagi
Tuhan, dilemma ilahi muncul karena Dia bukan tidak peduli dengan keberdosaan di
pihak manusia. Tuhan, pada kenyataannya, dengan benar dan keras menentang
setiap detail dari dosa manusia. Dia tidak bisa begitu saja mengabaikan atau
memaafkannya. Dalam terang kekudusan dan keadilan-Nya, Dia tidak memiliki
alternative selain menentang dosa dan menghukum orang berdosa. Dalam system
pengadilan kita, jika seorang hakim yang mengabaikan pelanggaran orang dan
“hanya memaafkan” mereka akan segera tidak dipakai. Tuhan itu benar, dan harus
melakukan apa yang benar dan menghukum dosa.
Namun,
seperti yang diberitahukan Paulus kepada kita, Tuhan “menghendaki supaya semua
orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Timotius 2:4).
Keinginan
Tuhan adalah untuk menyelamatkan – tetapi bagaimana Dia bisa menyelamatkan
seseorang? Dia dengan benar menentang dosa, namun dosa mengintai di setiap sudut
hati setiap manusia. Seperti yang telah kita lihat, kita semua “melanggar hukum
dan tidak taat”; kita semua adalah “ orang yang tidak saleh dan orang berdosa”,
seperti yang dikatakan Paulus. Masing-masing dari kita sampai taraf tertentu
dapat melabeli diri kita sendiri dengan cara yang sama seperti yang dilakukan
oleh Paulus: sebagai “orang yang biadab” (insolent) terhadap Tuhan.
Sungguh
suatu kesulitan yang mustahil! Tuhan yang maha suci hanya dapat menanggapi dosa
dengan amarah (the wrath of God), terlebih lagi ketika dosa terus berlanjut,
kejahatan yang bersifat intrinsik! Bagaimana Tuhan bisa mengampuni, memaafkan,
menyelamatkan, dan didamaikan dengan mereka yang telah berurat berakar dan
diperbudak dalam permusuhan yang begitu terang-terangan terhadap-Nya?
Bagaimana?
If Only (Jika saja)
Terselip
di dalam kitab Ayub adalah sekilas tentang dilemma ini dari sudut pandang
manusia – ditambah petunjuk dari solusi yang Tuhan akan berikan.
Di
tengah penderitaannya, pria bernama Ayub sangat sadar akan kekudusan Tuhan, dan
dia khawatir penderitaannya mungkin merupakan ekspresi penghakiman Tuhan.
Mengatasi ketakutan ini, Ayub pada suatu titik berteriak, “masakan manusia
benar di hadapan Allah”. Bagaimanapun juga, dia tahu bahwa Tuhan “bukan manusia
seperti aku, sehingga aku dapat menjawab-Nya: Mari bersama-sama menghadap
pengadilan” (Aub 9:2,32).
Terkunci
dalam keputusasaan, Ayub entah bagaimana memunculkan kerinduan yang putus asa
ini:
“Tidak ada wasit di antara kami, yang dapat
memegang kami berdua!
Biarlah Ia menyingkirkan
pentung-Nya dari padaku, jangan aku ditimpa kegentaran
terhadap Dia” (Ayub 9:33-34).
Jika saja…. Seandainya ada seseorang yang
menengahi antara orang yang menderita dengan Tuhan yang maha suci. Arbiter
seperti itu, mediator seperti itu, memang bisa memegang kami berdua, meletakkan
tangannya di atas kami berdua. Entah bagaimana Ayub bisa membayangkan perantara
untuk menjembatani jarak yang mustahil itu.
Bisakah
Anda menempatkan diri Anda pada posisi Ayub? Dalam realitas sejati dari dilemma
ilahi, di situlah Anda dan saya berada dalam kemanusiaan kita – siap untuk mati
di bawah murka Tuhan yang suci, tanpa harapan sama sekali ….. Kecuali berteriak
memohon perantara.
Answer to the Cry
Saat
ini kita sudah cukup familiar di ranah bisnis dan hukum dengan proses mediasi.
Biasanya, dua pihak berada dalam konflik, masing-masing merasa dianiaya atau
dalam bahaya akan dianiaya oleh pihak lain, tetapi mereka sama-sama memiliki
keinginan untuk mencari solusi melalui pihak ketiga yang netral. Mediator atau
arbiter yang netral ini mengawasi proses negosiasi antara kedua pihak, berharap
akan adanya suatu ukuran rekonsiliasi dan kesepakatan yang memuaskan
ketidakadilan yang dirasakan oleh kedua
belah pihak.
Gambaran
itu sama sekali tidak seperti mediasi yang dibutuhkan antara Tuhan dan manusia.
Kedua situasi itu, memang, melibatkan pihak yang beroposisi. Namun dalam
konflik antara Tuhan dan manusia, hanya satu pihak yang yang dihianati.Tuhan
telah dirugikan oleh pihak lain, Dia sendiri sepenuhnya tidak bersalah,
sepenuhnya tanpa kesalahan.
Pihak
lain (seluruh umat manusia) tidak dapat disangkal, dan sepenuhnya bersalah –
namun pihak yang bersalah ini bahkan tidak peduli untuk didamaikan, tetapi
terkunci dalam permusuhan aktif dengan pihak lain. Sebaliknya, Tuhan
berkomitmen penuh untuk menyelesaikan masalah dengan para pelanggar.
Saat
kita melihat kebutuhan ini dengan lebih jelas…. Ketika kita mulai, dengan karya
Roh Tuhan yang menyakinkan, untuk melihat dan merasakan beban pelanggaran
pribadi kita sendiri terhadap Tuhan…kita dengan mudah mengidentifikasi dengan
kerinduan Ayub akan seorang perantara yang bisa “ memegang kami berdua”.
Kabar
yang sangat baik bagi kita semua adalah bahwa teriakan putus asa Ayub telah
dijawab. Ada Pribadi yang datang menengahi antara Tuhan dan manusia.
Kabar baik ini akan disampaikan pada materi dengan judul “the Divine Rescue”
Decroly Sakul Virginia, Maret 2022
Sumber Foto: Google

Tidak ada komentar:
Posting Komentar