Arsip Blog

Rabu, 30 Maret 2022

THE DIVINE DILEMMA


 Tatanan ilahi harus mulai dengan Tuhan daripada dengan diri kita sendiri, dan untuk memulai dengan Tuhan berarti mendapatkan pemahaman tentang kondisi kita di mata-Nya saat berdiri pada posisi sebelum kematian Kristus.

                Bagi Tuhan, kondisi itu melibatkan dilemma.

 God’s Insolent Opponents

                Paulus menyampaikan dilemma ini dalam bab pembukaan dari surat pertamanya kepada Timotius. Tuhan adalah  “Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang esa!” (1 Tim. 1:17). Sebagai Raja segala zaman, Dia adalah Berdaulat mutlak yang melampaui waktu. Allah yang kekal -  Dia kebal terhadap kerusakan, kehancuran, dan kematian. Dan Dia yang tak Nampak – hidup dalam cahaya yang tak dapat didekati, sehingga mahluk berdosa tidak dapat melihat Dia dan hidup. Lebih jauh, Dia satu-satunya Tuhan, tanpa saingan.

                Sangat kontras dengan ini adalah potret kemanusiaan yang dilukiskan Paulus kepada Timotius: “orang durhaka dan orang lalim..orang fasik dan orang durhaka..orang duniawi dan orang yang tak beragama..pembunuh bapa dan pembunuh ibu dan pembunuh pada umumnya…orang cabul dan pemburit, penculik, pendusta, makan sumpah dan seterusnya segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran sehat” (1 Timotius 1:9-10)

                Itulah perspektif alkitabiah tentang umat manusia – dan kita semua cocok di suatu hal tersebut dalam deskripsi itu.

                Paulus menempatkan dirinya di sana juga, mengakui bahwa dia telah menjadi “seorang penghujat, penganiaya dan seorang ganas (insolent)”  terhadap Tuhan. Paulus bahkan mengidentifikasi dirinya sebagai “ yang paling berdosa di antara orang berdosa” (lihat 1 Timotius 1:13,15).

                Bagi Tuhan, dilemma ilahi muncul karena Dia bukan tidak peduli dengan keberdosaan di pihak manusia. Tuhan, pada kenyataannya, dengan benar dan keras menentang setiap detail dari dosa manusia. Dia tidak bisa begitu saja mengabaikan atau memaafkannya. Dalam terang kekudusan dan keadilan-Nya, Dia tidak memiliki alternative selain menentang dosa dan menghukum orang berdosa. Dalam system pengadilan kita, jika seorang hakim yang mengabaikan pelanggaran orang dan “hanya memaafkan” mereka akan segera tidak dipakai. Tuhan itu benar, dan harus melakukan apa yang benar dan menghukum dosa.

                Namun, seperti yang diberitahukan Paulus kepada kita, Tuhan “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Timotius 2:4).

                Keinginan Tuhan adalah untuk menyelamatkan – tetapi bagaimana Dia bisa menyelamatkan seseorang? Dia dengan benar menentang dosa, namun dosa mengintai di setiap sudut hati setiap manusia. Seperti yang telah kita lihat, kita semua “melanggar hukum dan tidak taat”; kita semua adalah “ orang yang tidak saleh dan orang berdosa”, seperti yang dikatakan Paulus. Masing-masing dari kita sampai taraf tertentu dapat melabeli diri kita sendiri dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Paulus: sebagai “orang yang biadab” (insolent) terhadap Tuhan.

                Sungguh suatu kesulitan yang mustahil! Tuhan yang maha suci hanya dapat menanggapi dosa dengan amarah (the wrath of God), terlebih lagi ketika dosa terus berlanjut, kejahatan yang bersifat intrinsik! Bagaimana Tuhan bisa mengampuni, memaafkan, menyelamatkan, dan didamaikan dengan mereka yang telah berurat berakar dan diperbudak dalam permusuhan yang begitu terang-terangan terhadap-Nya?

                Bagaimana?

 

If Only (Jika saja)

                Terselip di dalam kitab Ayub adalah sekilas tentang dilemma ini dari sudut pandang manusia – ditambah petunjuk dari solusi yang Tuhan akan berikan.

                Di tengah penderitaannya, pria bernama Ayub sangat sadar akan kekudusan Tuhan, dan dia khawatir penderitaannya mungkin merupakan ekspresi penghakiman Tuhan. Mengatasi ketakutan ini, Ayub pada suatu titik berteriak, “masakan manusia benar di hadapan Allah”. Bagaimanapun juga, dia tahu bahwa Tuhan “bukan manusia seperti aku, sehingga aku dapat menjawab-Nya: Mari bersama-sama menghadap pengadilan” (Aub 9:2,32).

                Terkunci dalam keputusasaan, Ayub entah bagaimana memunculkan kerinduan yang putus asa ini:

                “Tidak ada wasit di antara kami, yang dapat memegang kami berdua!

                Biarlah Ia menyingkirkan pentung-Nya dari padaku, jangan aku ditimpa kegentaran

                terhadap Dia” (Ayub 9:33-34).

Jika saja…. Seandainya ada seseorang yang menengahi antara orang yang menderita dengan Tuhan yang maha suci. Arbiter seperti itu, mediator seperti itu, memang bisa memegang kami berdua, meletakkan tangannya di atas kami berdua. Entah bagaimana Ayub bisa membayangkan perantara untuk menjembatani jarak yang mustahil itu.

                Bisakah Anda menempatkan diri Anda pada posisi Ayub? Dalam realitas sejati dari dilemma ilahi, di situlah Anda dan saya berada dalam kemanusiaan kita – siap untuk mati di bawah murka Tuhan yang suci, tanpa harapan sama sekali ….. Kecuali berteriak memohon perantara.

 Answer to the Cry

                Saat ini kita sudah cukup familiar di ranah bisnis dan hukum dengan proses mediasi. Biasanya, dua pihak berada dalam konflik, masing-masing merasa dianiaya atau dalam bahaya akan dianiaya oleh pihak lain, tetapi mereka sama-sama memiliki keinginan untuk mencari solusi melalui pihak ketiga yang netral. Mediator atau arbiter yang netral ini mengawasi proses negosiasi antara kedua pihak, berharap akan adanya suatu ukuran rekonsiliasi dan kesepakatan yang memuaskan ketidakadilan  yang dirasakan oleh kedua belah pihak.

 Gambaran itu sama sekali tidak seperti mediasi yang dibutuhkan antara Tuhan dan manusia. Kedua situasi itu, memang, melibatkan pihak yang beroposisi. Namun dalam konflik antara Tuhan dan manusia, hanya satu pihak yang yang dihianati.Tuhan telah dirugikan oleh pihak lain, Dia sendiri sepenuhnya tidak bersalah, sepenuhnya tanpa kesalahan.

                Pihak lain (seluruh umat manusia) tidak dapat disangkal, dan sepenuhnya bersalah – namun pihak yang bersalah ini bahkan tidak peduli untuk didamaikan, tetapi terkunci dalam permusuhan aktif dengan pihak lain. Sebaliknya, Tuhan berkomitmen penuh untuk menyelesaikan masalah dengan para pelanggar.

                Saat kita melihat kebutuhan ini dengan lebih jelas…. Ketika kita mulai, dengan karya Roh Tuhan yang menyakinkan, untuk melihat dan merasakan beban pelanggaran pribadi kita sendiri terhadap Tuhan…kita dengan mudah mengidentifikasi dengan kerinduan Ayub akan seorang perantara yang bisa “ memegang kami berdua”.

                Kabar yang sangat baik bagi kita semua adalah bahwa teriakan putus asa Ayub telah dijawab. Ada Pribadi yang datang menengahi antara Tuhan dan manusia.

Kabar baik ini akan disampaikan pada materi  dengan judul  “the Divine Rescue”

Decroly Sakul Virginia, Maret 2022

Sumber Foto: Google

Tidak ada komentar: